About

budaya

Pages

Senin, 29 April 2013

KEMATIAN



Sebagai mahkluk ciptaan, ternyata hidup manusia terbatas. Manusia sama sekali tidak bisa mempertahankan apa yang diinginkan. Kedudukan yang tinggi maupun besarnya kekuasaan yang di genggam, akan “melorot” bila saatnya tiba. Kekayaan yang melimpah, juga akan “terkuras”  kalau rentang waktunya sudah habis. Nyawa sekalipun segera pupus manakala “masa pakainya habis”.
Kematian adalah sebuah keniscayaan. Tidak perlu diminta. Dia akan datang sendiri. Tidak perlu mendaftar atau mencalonkan diri. Data semua mahluk hidup sudah tercatat. Nama, tempat dan tanggal lahir, jenis kelamin, bangsa, agama, maupun latar belakang aktivitas selama hidup. Termasuk hal-hal paling kecil, maupun hal niat yang masih tersembunyi didalam hati. Semua terdata utuh dan lengkap. Lebih lengkap dan akurat daripada data badan pusat statistik.
Saat nyawa “ditarik dari peredarannya,” kemahklukan manusia pun beralih status. Mati. Tidak bakal terjadi pengunduran waktu. Malaikat pencabut nyawa, bukan mahkluk bumi yang bisa diajak bernegosiasi. Berunding “bisik-bisik” minta keringanan atau penundaan. Mahkluk yang satu ini sudah terlatih “bekerja” dengan disiplin tinggi. Tepat waktu dan tepat sasaran. Jitu. Tidak melenceng dan tidak nyasar. Juga tidak ada istilah “tebang pilih .” diskriminasi tidak di kenal. Semua makhluk hidup diperlakukan sama.
Kematian membawa manusia kealam kehidupan baru, yang sama sekali asing. Tempat tinggal megah “tergusur.” Pindah ketempat tinggal baru, yakni kubur. Menempati unit “liang lahat” di komplek perkuburan.  Dibiarkan hidup sendiri dalam kesepian alam penantian “barzakh.” Menanti masa  “evakuasi” kealam berikutnya, yakni alam akhirat.
kata mati dan kematian sebenarnya sudah sangat akrab dengan telingga manusia. Setiap manusia pasti akan mengalaminya. Menjumpai kematian. Namun, manakala masih berada dalam kenikmatan hidup, manusia sering lengah dan lupa dengan kematian. Sebaliknya, bila usia semakin sepuh, atau didera sakit, maka bayang-bayang kematian mulai muncul. Secara psikologis, turut mempengaruhi sikap dan perilaku manusia.

Defenisi Kematian
Kematian  oleh   sementara   ulama   mendefinisikan   sebagai "ketiadaan  hidup,"  atau  "antonim  dari  hidup."  Kematian pertama dialami oleh manusia sebelum kelahirannya, atau saat sebelum  Allah menghembuskan ruh kehidupan kepadanya; sedang kematian kedua, saat ia meninggalkan dunia  yang  fana  ini. Kehidupan  pertama  dialami  oleh  manusia pada saat manusia menarik dan menghembuskan nafas di dunia,  sedang  kehidupan kedua  saat  ia berada di alam barzakh, atau kelak ketika ia hidup kekal di hari akhirat. Kematian adalah sebuah keniscayaan. Tidak perlu diminta. Dia akan datang sendiri. Tidak perlu mendaftar atau mencalonkan diri. Data semua mahluk hidup sudah tercatat. Nama, tempat dan tanggal lahir, jenis kelamin, bangsa, agama, maupun latar belakang aktivitas selama hidup.
Kematian atau Ajal adalah akhir dari kehidupan, ketiadaan nyawa dalam organism biologis. Semua makhluk hidup pada akhirnya akan mati secara permanen, baik karena penyebab alami seperti penyakit atau karena penyebab tidak alami seperti kecelakaan. Setelah kematian, tubuh makhluk hidup mengalami pembusukan.


 Kematian Dalam Agama
Setiap agama mengajarkan tentang adanya hari pembangkitan. Alam baru sesudah manusia mati. Di percayai bahwa manusia pada saat itu manusia akan dihidupkan kembali untuk diminta pertanggung jawabnya. Perbuatan baik akan memperoleh kenikmatan surgawi.sebaliknya, perbuatan buruk akan mendapat siksaan neraka, oleh karena itu hari kebangkitan disebut juga hari pembalasan.
Keyakinan seperti itu juga berlaku pada penganut ajaran kepercayaan lain, maupun agama-agama kuno seperti :
1.          Di Mesir kuno percaya bahwa pembalseman mayat yang di kenal dengan Mummi merupakan mayat yang utuh tenpat kediaman bagi roh dalam kehidupan sesudah mati.
2.          konsep Nirvana (keadaan tak tersisa) dalam agama budha dan janisme berkonotasi kehidupan surgawi. Gambaran dari keadaan dan ketrentaman sempurna dalam bentukkelahiran kembali di alam mayapada yaitu kehidupan yang sempurna dilambangkan dalam kehidupan di balik alam dunia.
3.          penganut agama samawi seperti yahudi, nasrani, dan islam memperoleh informasi mengennai hari kebangkitan dari kitab suci masing masing. Seperti di ajaran agama Kristen kissah para rasul (1 : 1-14) dikemukakan “ empat puluh hari setelah bangkit  diantara orang orang mati, Tuhan yesus menampakan diri kepada murid murid di yerusalem. Bersama mereka, ia pergi ke bukit Zaitun.pada waktu itu ia terangkat ke surga. Kemudian di ajaran islam,hari kebangkitan merupakan bagian dari rukun iman. Abul A’la al – Maududi mengemukakan hari  kebangkitan :
*     Bahwa Allah akan menghapuskan semeseta alam ini dan sekalian makhluk yang ada di dalamnya pada suatu hari yang di kenal dengan hari kiamat
*      Kemudian Allah SWT. Akan menghidupkan mereka kembali sekaali lagi dan mengumpulakn mereka di hadap-NYA.
*      kemudian sesuatu yang diperbuat oleh manusia, yang baik dan buruk dalam kehidupan dunia mereka, diajukan kepada pengadilan Allah SWT.
*      Allah SWT menimbang bagi tiap tiap orang akan perbuatannya yang baik dan yang buruk. Barang siapa yang lebih berat kebaaikan maka akan di ampuni dan jika barang siapa yang berat timbangannya dalam kejahatan , maka akan di siksa
*      Orang orang yang kan diampuni akn masuk surga, dan orang orang yang disiksa akan masuk neraka.
Dalam  Alquran  mengisyaratkan akan hal itu, “ hai manusia, jika kamu dalam keraguan tentang kebangkitan , maka sesungguhnya kami telah menjad8ikan kamu dari tanah, kemudian dari setetes mani, kemudian dari segumpal darah, kemudian dari segumpal daging yang sempurna kejadiannya dan yang tidak sempurna , agar kami jelaskan kepada kamu  dan kami tetapkan dalam rahim, apa yang kami kehendaki sampai waktu yang sudah kami tentukan, kemudian kami keluarkan kamu sebagai bayi sampai sampai ke dewasa sampai pikun, supaya dia tidak mengetahui lagi sesuatupun yang dahulu telah di ketahui “ ( QS 22: 5 ).
Secara psikologis, keyakinan akan adanya hari kebangkitan akan berdampak pada sikap dan prilaku manusia, baik dalam kehidupan individu maupun sosial. Besar kecilnya dampak keyakinan tersebut tergantung dari tingkat penghayatan masing-masing. Semakin mendalam keyakinan dan penghayatan, akan semakin tampak jelas pengaruhnya dalam kehidupan  seseorang. Bahkan sampai ada yang bersedia mengorbankan hidupnya. Dengan tulus memilih jadi martir (sahid mengorbankan diri), orang saleh, ataupun pendakwah.

 Psikologi Kematian
Kematian dan hari kebangkitan sebenarnya tak dapat dipisahkan dalam keyakinan manusia. Kematian sebagai akhir sebuah kehidupan, serta hari kebangitan sebagai kondisi kehidupan abadi. Tempat manusia berhadapan dengan perhitungan amal perbuatannya selama hidup didunia. Bagaimana manusia menyikapi semua itu, tampaknya sangat tergantung dari latar belakang keyakinan masing-masing.
Takut mati bukanlah ketakutan yang normal, akan tetapi ia merupakan bentuk fobia atau kecemasan yang bercampur dalam satu waktu sekaligus dengan perasaan takut, panik, getar, dan ngeri. Fobia mati bukanlah kecemasan jauh yang menanti kita diakhir jalan, akan tetapi ia merupakan kecemasan laten yang terpendam didalam relung-relung perasaan hingga kita nyaris mencium aroma kematian di segala sesuatu. Sekeras apapun upaya kita untuk mencoba melupakan realitas kematian, atau sengaja mengabaikan wacana kefanaan (annihilation), cepat atau lambat kita tetap mendapati diri kita termenung sedih memikirkan realitas kematian dan terkurung dengan kecemasan dan kebinasaan.
Pada tataran realitas, merujuk pada hasil pengamatan Miguel de Unamuno, filsuf dan penyair asal spanyol (1864-1936 M), pikiran akan kematian dapat menggangu kenyenyakan tidur manusia, mengelisahkan pikirannya, dan hampir terus menerus –menerus membuntutinya dimanapun ia berada, hingga batinya selalu merinding oleh getaran aneh yang disebabkan oleh misteri kematian dan apa yang datang setelahnya. Unamuno mengatakan, ketika aku dapati diriku tengelam dalam perputaran roda kehidupan dengan segala beban pikiran dan kesibukan yang menyertainya, tak lama kemudian tiba-tiba aku tersadar bahwa kematian telah berputar –putar mengitari kepalaku, bahkan sempat aku rasakan sesuatu yang lebih buruk lagi, yaitu cekaman rasa kefanaan. Dan ini merupakan kecemasan tertinggi yang tidak menyisakan  lagi ruang kecemasan diatas.
Arthur Schopenhauer, filsuf asal jerman (1788-1860 M) mengatakan, ketakutan akan kematian merupakan ekspresi keteguhan manusia memegang kehidupan dan kecemasannya akan ketidak pastian  masa depan  yang menantinya diakhir muara. Manusia yang takut mati, dengan demikan , adalah manusia yang tidak mengetahui kematian dan sesuatu setelahnya, sebab ketakutan akan kematian lebih merupakan ketakutan pada the unknown (sesuatu yang tak diketahui) yang dalam sekejab  waktu saja mampu mengubah segalanya menjadi nothing.
Salah seorang peneliti dibidang ini mencoba menggambarkan tragedy metafisik tersebut dengan ungkapan, “mengapa aku ditakdirkan mati seorang diri. Terbayang  olehku bahwa tidak ada sesuatu yang lebih dahsyat bagi jiwa orang yang sedang meregang nyawanya dari pada harus meregang nyawa dan mati sendiri  sementara dunia tetap berlangsung sepeningalannya, tanpa ada cucuran air mata menangisi kepergiannya baik sedikit, maupun banyak. Kematian seorang diri merupakan kepedihan yang menambah kengeriannya dan menjadikannya sebagai realitas personal yang menyakitkan.”  Jika sebagian manusia ada yang takut mati karena merasa mati sendirian sebagaimana diatas, maka sebagian lain justru menakutinya karena kematian membuatnya sama dengan manusia yang lain. Manusia biasanya membicarakan kematian secara spontan dan reflex, sebab ketakutan berpisah dengan keindahan hidup dan ketakutan akan kenihilan yang tak pasti (the unknown nihilistic) merupakan sesuatu yang bersifat psikis yang tidak dapat di sembunyikan maupun dihindari.
Blaise Pascal, flsuf dan matematikawan Prancis (623-16620) mengatakan, “manusia menciptakan berbagai kreasi hiburan atau permainan untuk menghindarkan diri dari ketakutan akan kesendirian atau kesepian…” ia menambahkan, “ketika manusia sudah tidak bisa lagi menemukan terapi pengobatan kematian, kesengsaraan, dan kebodohan, merekapun menyimpulkan bahwa jalan terbaik untuk menikmati kebahgiaan adalah dengan tidak memikirkan hal-hal tersebut sama sekali.”
Melalui buku, Neurocultura, Fabio Giovannini melukiskan sikap orang zaman ini berhadapan dengan kematian. Dari kebudayaan yang dikembangkan orang zaman sekarang, misalnya dalam lirik musik, fotografi, film, lukisan, atau upacara-upacara kematian, dan penguburan, bahwa orang tidak lagi takut pada kematian. Mereka tidak mau memitoskan kematian sebagai agama-agama dimasa lalu, dengan upacara-upacara yang mengelabui, menghiasi si mati solah mau bepergian sebentar, membayangkan janji mengenai kehidupan akhirat dan sebagainya.
Kematian dan hari kebangkitan sebenarnya tidak dapat dipisahkan dalam keyakinan manusia. Kematian sebagai akhir sebuah kehidupan, serta hari kebangkitan sebagai kondisi kehidupan abadi. Tempat manusia berhadapan dengan perhitungan amal perbuatannya selama hidup di dunia.

 Kesimpulan
Telah kita ketahui bahwa hidup dunia ini terbatas yang mana setiap makhluk hidup pasti akan mati, dan tiada satupun manusia yang mengetahui dimana tempat dan waktunya, kematian atau ajal merupakan akhir dari kehidupan didunia bersifat psikis yang tidak bisa dihindari apapun agamanya, dalam konsep ajaran islam kematian merupakan cobaan yang diberikan kepada manusia sebagai bahan renungan makna dari kitab suci yaitu al-qur’an, bahwa kematian tidak berakhir begitu saja masih ada pertanggung jawaban apa yang kita lakukan di dunia.
Ketegaran manusia bakal luluh saat menghadapi kematian, manusia merasa dirinya lemah, dan sama sekali kehilangan daya. Saat-saat seperti itu, hanya nilai-nilai fitri manusia muncul seakan mengadili dirinya. Fitrah suci manusia yang berintikan kebenaran, kebaikan, dan keindahan. Mereka yang ketika hidupnya terbiasa melakukan perbuatan yang menyalahi fitrah suci itu akan mengalami kegelisahan batin. Secara psikologis, rasa bersalah itu akan mendera dirinya.

DAFTAR PUSTAKA 
Dr. H, Jalaluddin, 2010. “Psikologi Agama”, PT Rajagrafindo Persada. Jakarta
Abbas Rashed, 2008. “ Tour Kematian the story of death”, Amzah. Jakarta

0 komentar:

Posting Komentar

Wan Fahrul Rozikin