Sebagai mahkluk
ciptaan, ternyata hidup manusia terbatas. Manusia sama sekali tidak bisa
mempertahankan apa yang diinginkan. Kedudukan yang tinggi maupun besarnya kekuasaan
yang di genggam, akan “melorot” bila saatnya tiba. Kekayaan yang melimpah, juga
akan “terkuras” kalau rentang waktunya
sudah habis. Nyawa sekalipun segera pupus manakala “masa pakainya habis”.
Kematian adalah sebuah
keniscayaan. Tidak perlu diminta. Dia akan datang sendiri. Tidak perlu
mendaftar atau mencalonkan diri. Data semua mahluk hidup sudah tercatat. Nama,
tempat dan tanggal lahir, jenis kelamin, bangsa, agama, maupun latar belakang
aktivitas selama hidup. Termasuk hal-hal paling kecil, maupun hal niat yang
masih tersembunyi didalam hati. Semua terdata utuh dan lengkap. Lebih lengkap
dan akurat daripada data badan pusat statistik.
Saat nyawa “ditarik dari peredarannya,”
kemahklukan manusia pun beralih status. Mati. Tidak bakal terjadi pengunduran
waktu. Malaikat pencabut nyawa, bukan mahkluk bumi yang bisa diajak
bernegosiasi. Berunding “bisik-bisik” minta keringanan atau penundaan. Mahkluk
yang satu ini sudah terlatih “bekerja” dengan disiplin tinggi. Tepat waktu dan
tepat sasaran. Jitu. Tidak melenceng dan tidak nyasar. Juga tidak ada istilah
“tebang pilih .” diskriminasi tidak di kenal. Semua makhluk hidup diperlakukan
sama.
Kematian membawa
manusia kealam kehidupan baru, yang sama sekali asing. Tempat tinggal megah
“tergusur.” Pindah ketempat tinggal baru, yakni kubur. Menempati unit “liang
lahat” di komplek perkuburan. Dibiarkan
hidup sendiri dalam kesepian alam penantian “barzakh.” Menanti masa “evakuasi” kealam berikutnya, yakni alam
akhirat.
kata
mati dan kematian sebenarnya sudah sangat akrab dengan telingga manusia. Setiap
manusia pasti akan mengalaminya. Menjumpai kematian. Namun, manakala masih
berada dalam kenikmatan hidup, manusia sering lengah dan lupa dengan kematian.
Sebaliknya, bila usia semakin sepuh, atau didera sakit, maka bayang-bayang
kematian mulai muncul. Secara psikologis, turut mempengaruhi sikap dan perilaku
manusia.
Defenisi
Kematian
Kematian oleh
sementara ulama mendefinisikan sebagai "ketiadaan hidup,"
atau "antonim dari
hidup." Kematian pertama
dialami oleh manusia sebelum kelahirannya, atau saat sebelum Allah menghembuskan ruh kehidupan kepadanya;
sedang kematian kedua, saat ia meninggalkan dunia yang
fana ini. Kehidupan pertama
dialami oleh manusia pada saat manusia menarik dan
menghembuskan nafas di dunia,
sedang kehidupan kedua saat
ia berada di alam barzakh, atau kelak ketika ia hidup kekal di hari
akhirat. Kematian adalah sebuah keniscayaan. Tidak perlu
diminta. Dia akan datang sendiri. Tidak perlu mendaftar atau mencalonkan diri.
Data semua mahluk hidup sudah tercatat. Nama, tempat dan tanggal lahir, jenis
kelamin, bangsa, agama, maupun latar belakang aktivitas selama hidup.
Kematian atau Ajal adalah akhir dari kehidupan, ketiadaan nyawa dalam organism biologis. Semua makhluk hidup pada akhirnya akan mati secara permanen, baik karena penyebab alami seperti penyakit atau karena penyebab tidak alami seperti kecelakaan. Setelah kematian, tubuh makhluk hidup mengalami pembusukan.
Kematian
Dalam Agama
Setiap agama
mengajarkan tentang adanya hari pembangkitan. Alam baru sesudah manusia mati.
Di percayai bahwa manusia pada saat itu manusia akan dihidupkan kembali untuk
diminta pertanggung jawabnya. Perbuatan baik akan memperoleh kenikmatan
surgawi.sebaliknya, perbuatan buruk akan mendapat siksaan neraka, oleh karena
itu hari kebangkitan disebut juga hari pembalasan.
Keyakinan seperti itu
juga berlaku pada penganut ajaran kepercayaan lain, maupun agama-agama kuno
seperti :
1.
Di Mesir kuno percaya bahwa pembalseman
mayat yang di kenal dengan Mummi merupakan mayat yang utuh tenpat kediaman bagi
roh dalam kehidupan sesudah mati.
2.
konsep Nirvana (keadaan tak tersisa) dalam agama budha dan janisme berkonotasi kehidupan surgawi.
Gambaran dari keadaan dan ketrentaman sempurna dalam bentukkelahiran kembali di
alam mayapada yaitu kehidupan yang
sempurna dilambangkan dalam kehidupan di balik alam dunia.
3.
penganut agama samawi seperti yahudi,
nasrani, dan islam memperoleh informasi mengennai hari kebangkitan dari kitab
suci masing masing. Seperti di ajaran agama Kristen kissah para rasul (1 : 1-14)
dikemukakan “ empat puluh hari setelah bangkit
diantara orang orang mati, Tuhan yesus menampakan diri kepada murid
murid di yerusalem. Bersama mereka, ia pergi ke bukit Zaitun.pada waktu itu ia
terangkat ke surga. Kemudian di ajaran islam,hari kebangkitan merupakan bagian
dari rukun iman. Abul A’la al – Maududi mengemukakan hari kebangkitan :
Bahwa Allah akan menghapuskan semeseta
alam ini dan sekalian makhluk yang ada di dalamnya pada suatu hari yang di
kenal dengan hari kiamat
Kemudian Allah SWT. Akan menghidupkan
mereka kembali sekaali lagi dan mengumpulakn mereka di hadap-NYA.
kemudian sesuatu yang diperbuat oleh
manusia, yang baik dan buruk dalam kehidupan dunia mereka, diajukan kepada
pengadilan Allah SWT.
Allah SWT menimbang bagi tiap tiap orang
akan perbuatannya yang baik dan yang buruk. Barang siapa yang lebih berat
kebaaikan maka akan di ampuni dan jika barang siapa yang berat timbangannya
dalam kejahatan , maka akan di siksa
Orang orang yang kan diampuni akn masuk
surga, dan orang orang yang disiksa akan masuk neraka.
Dalam Alquran
mengisyaratkan akan hal itu, “ hai manusia, jika kamu dalam keraguan
tentang kebangkitan , maka sesungguhnya kami telah menjad8ikan kamu dari tanah,
kemudian dari setetes mani, kemudian dari segumpal darah, kemudian dari
segumpal daging yang sempurna kejadiannya dan yang tidak sempurna , agar kami
jelaskan kepada kamu dan kami tetapkan
dalam rahim, apa yang kami kehendaki sampai waktu yang sudah kami tentukan,
kemudian kami keluarkan kamu sebagai bayi sampai sampai ke dewasa sampai pikun,
supaya dia tidak mengetahui lagi sesuatupun yang dahulu telah di ketahui “ ( QS
22: 5 ).
Secara psikologis,
keyakinan akan adanya hari kebangkitan akan berdampak pada sikap dan prilaku
manusia, baik dalam kehidupan individu maupun sosial. Besar kecilnya dampak
keyakinan tersebut tergantung dari tingkat penghayatan masing-masing. Semakin
mendalam keyakinan dan penghayatan, akan semakin tampak jelas pengaruhnya dalam
kehidupan seseorang. Bahkan sampai ada
yang bersedia mengorbankan hidupnya. Dengan tulus memilih jadi martir (sahid
mengorbankan diri), orang saleh, ataupun pendakwah.
Psikologi
Kematian
Kematian dan hari
kebangkitan sebenarnya tak dapat dipisahkan dalam keyakinan manusia. Kematian
sebagai akhir sebuah kehidupan, serta hari kebangitan sebagai kondisi kehidupan
abadi. Tempat manusia berhadapan dengan perhitungan amal perbuatannya selama hidup
didunia. Bagaimana manusia menyikapi semua itu, tampaknya sangat tergantung
dari latar belakang keyakinan masing-masing.
Takut mati bukanlah
ketakutan yang normal, akan tetapi ia merupakan bentuk fobia atau kecemasan
yang bercampur dalam satu waktu sekaligus dengan perasaan takut, panik, getar,
dan ngeri. Fobia mati bukanlah kecemasan jauh yang menanti kita diakhir jalan,
akan tetapi ia merupakan kecemasan laten yang terpendam didalam relung-relung
perasaan hingga kita nyaris mencium aroma kematian di segala sesuatu. Sekeras
apapun upaya kita untuk mencoba melupakan realitas kematian, atau sengaja
mengabaikan wacana kefanaan (annihilation), cepat atau lambat kita tetap
mendapati diri kita termenung sedih memikirkan realitas kematian dan terkurung
dengan kecemasan dan kebinasaan.
Pada tataran realitas,
merujuk pada hasil pengamatan Miguel de Unamuno, filsuf dan penyair asal
spanyol (1864-1936 M), pikiran akan kematian dapat menggangu kenyenyakan tidur
manusia, mengelisahkan pikirannya, dan hampir terus menerus –menerus
membuntutinya dimanapun ia berada, hingga batinya selalu merinding oleh getaran
aneh yang disebabkan oleh misteri kematian dan apa yang datang setelahnya. Unamuno
mengatakan, ketika aku dapati diriku tengelam dalam perputaran roda kehidupan
dengan segala beban pikiran dan kesibukan yang menyertainya, tak lama kemudian
tiba-tiba aku tersadar bahwa kematian telah berputar –putar mengitari kepalaku,
bahkan sempat aku rasakan sesuatu yang lebih buruk lagi, yaitu cekaman rasa
kefanaan. Dan ini merupakan kecemasan tertinggi yang tidak menyisakan lagi ruang kecemasan diatas.
Arthur Schopenhauer,
filsuf asal jerman (1788-1860 M) mengatakan, ketakutan akan kematian merupakan
ekspresi keteguhan manusia memegang kehidupan dan kecemasannya akan ketidak pastian masa depan
yang menantinya diakhir muara. Manusia yang takut mati, dengan demikan ,
adalah manusia yang tidak mengetahui kematian dan sesuatu setelahnya, sebab
ketakutan akan kematian lebih merupakan ketakutan pada the unknown (sesuatu
yang tak diketahui) yang dalam sekejab
waktu saja mampu mengubah segalanya menjadi nothing.
Salah seorang peneliti
dibidang ini mencoba menggambarkan tragedy metafisik tersebut dengan ungkapan,
“mengapa aku ditakdirkan mati seorang diri. Terbayang olehku bahwa tidak ada sesuatu yang lebih
dahsyat bagi jiwa orang yang sedang meregang nyawanya dari pada harus meregang
nyawa dan mati sendiri sementara dunia
tetap berlangsung sepeningalannya, tanpa ada cucuran air mata menangisi
kepergiannya baik sedikit, maupun banyak. Kematian seorang diri merupakan
kepedihan yang menambah kengeriannya dan menjadikannya sebagai realitas
personal yang menyakitkan.” Jika
sebagian manusia ada yang takut mati karena merasa mati sendirian sebagaimana
diatas, maka sebagian lain justru menakutinya karena kematian membuatnya sama
dengan manusia yang lain. Manusia biasanya membicarakan kematian secara spontan
dan reflex, sebab ketakutan berpisah dengan keindahan hidup dan ketakutan akan
kenihilan yang tak pasti (the unknown nihilistic) merupakan sesuatu yang
bersifat psikis yang tidak dapat di sembunyikan maupun dihindari.
Blaise Pascal, flsuf
dan matematikawan Prancis (623-16620) mengatakan, “manusia menciptakan berbagai
kreasi hiburan atau permainan untuk menghindarkan diri dari ketakutan akan kesendirian
atau kesepian…” ia menambahkan, “ketika manusia sudah tidak bisa lagi menemukan
terapi pengobatan kematian, kesengsaraan, dan kebodohan, merekapun menyimpulkan
bahwa jalan terbaik untuk menikmati kebahgiaan adalah dengan tidak memikirkan
hal-hal tersebut sama sekali.”
Melalui buku, Neurocultura, Fabio Giovannini
melukiskan sikap orang zaman ini berhadapan dengan kematian. Dari kebudayaan
yang dikembangkan orang zaman sekarang, misalnya dalam lirik musik, fotografi,
film, lukisan, atau upacara-upacara kematian, dan penguburan, bahwa orang tidak
lagi takut pada kematian. Mereka tidak mau memitoskan kematian sebagai
agama-agama dimasa lalu, dengan upacara-upacara yang mengelabui, menghiasi si
mati solah mau bepergian sebentar, membayangkan janji mengenai kehidupan
akhirat dan sebagainya.
Kematian dan hari
kebangkitan sebenarnya tidak dapat dipisahkan dalam keyakinan manusia. Kematian
sebagai akhir sebuah kehidupan, serta hari kebangkitan sebagai kondisi
kehidupan abadi. Tempat manusia berhadapan dengan perhitungan amal perbuatannya
selama hidup di dunia.
Kesimpulan
Telah kita ketahui
bahwa hidup dunia ini terbatas yang mana setiap makhluk hidup pasti akan mati,
dan tiada satupun manusia yang mengetahui dimana tempat dan waktunya, kematian
atau ajal merupakan akhir dari kehidupan didunia bersifat psikis yang tidak
bisa dihindari apapun agamanya, dalam konsep ajaran islam kematian merupakan
cobaan yang diberikan kepada manusia sebagai bahan renungan makna dari kitab
suci yaitu al-qur’an, bahwa kematian tidak berakhir begitu saja masih ada
pertanggung jawaban apa yang kita lakukan di dunia.
Ketegaran manusia bakal
luluh saat menghadapi kematian, manusia merasa dirinya lemah, dan sama sekali
kehilangan daya. Saat-saat seperti itu, hanya nilai-nilai fitri manusia muncul
seakan mengadili dirinya. Fitrah suci manusia yang berintikan kebenaran,
kebaikan, dan keindahan. Mereka yang ketika hidupnya terbiasa melakukan
perbuatan yang menyalahi fitrah suci itu akan mengalami kegelisahan batin.
Secara psikologis, rasa bersalah itu akan mendera dirinya.
DAFTAR
PUSTAKA
Dr.
H, Jalaluddin, 2010. “Psikologi Agama”,
PT Rajagrafindo Persada. Jakarta
Abbas
Rashed, 2008. “ Tour Kematian the story of
death”, Amzah. Jakarta
0 komentar:
Posting Komentar