A. Mengkritisi
klasifikasi metode tafsir
Sebuah
ilmu, menurut Bahm, disebut dengan ilmu pengetahuan apabila memenuhi enam komponen
yang saling terkait satu sama lain, yaitu: masalah, sikap, metode, aktivitas,
kesimpulan, dan efek.
Pandangan
Bahm ini sejalan dengan pendapat yang menyatakan bahwa suatu studi bisa disebut
sebagai ilmu pengetahuan apabila:
a. Mempunyai
objek kajian yang empiris atau memiliki evidensi empiris yang membedakannya
dari ilmu pengetahuan lain, baik objek formal maupun objek materialnya.
b. Memiliki
sistematisasi / struktur keilmuan yang berbeda dari disiplin lainnya.
c. Memiliki
etode pengembangan yang dengannya ilmu pengetahuan dapat diteliti dan di
kembangkan secara terus menerus.
Metode
(method) yang di sebutkan terakhir
ini merupakan cara yang teratur dan terpikir baik-baik untuk mencapai maksud,
atau cara kerja sistematik untuk memudahkan pelaksanaan suatu kegiatan guna
mencapai tujuan yang sudah di tentukan. Menurut Bahm, metode sebagai komponen
ketiga dari ilmu pengetahuan, merupakan esensi pengetahuan dan sebab
pengetahuan sebagai teori akan selalu berubah, Sedangkan metode merupakan
pengetahuan yang tidak pernah dan tidak akan berubah. Meski demikian, di antara
para ilmuan tidak ada kebulatan pandangan mengenai bagaimana sifat metode
tersebut. Dalam perdebatan yang panjang, ada dua pandangan controversial
tentang metode, yaitu:
a. Apakah
metode hanya satu atau banyak
b. Langkah
metode ilmiah
Respon
saya kata Bahm, terhadap kontroversi ini, apakah metode ilmiah itu satu atau
banyak mempunyai kebenaran pada masig-masing pandangan. Metode ilmiah bisa
satu, bisa banyak. Pandangan bahwa “metode ilmiah itu satu” dapat di benarkan
karena tidak ada sebuah subjek yang tidak bisa di pecahkan dengan sebuah metode
ilmiah.
Sementara
itu, kebenaran pernyataan bahwa “metode ilmiah itu banyak” disebabkan pada
kenyataannya, ada beberapa metode yang sesuai dengan masalah dan caranya.
Misalnya, seorang ahli biologi mengunakan mikroskop Sedangkan seorang astronom
harus mengunakan teleskop. Oleh sebab, itu masing-masing cabang ilmu
menggunakan metodenya sendiri yang beragam dan berbeda.
Disamping
itu, menurut Bahm selanjutnya, secara historis para ilmuan dalam satu bidang
yang sama dengan wilayah yang berbeda akan menggunakan metode yang berbeda
pula, karena perbedaan dalam perkembangan teori dan perkembangan dan temuan
teknologi.
Ketika
terjadi revolusi ilmiah yang sangat penting, berbagai metode mendapat penekanan
yang berbeda diikuti dengan proses sistematis yang baru. Pada tahap-tahap
terdahulu, hal ini cendrung lebih induktif, yaitu lebih banyak bekerja dengan
metode tertentu dalam ilmu pengetahuan yang tertentu pula. Pada tahap berikutnya,
metode-metode tersebut tidak lagi campur aduk tetapi lebih menekankan kepada
masalah sintetik, sehingga melahirkan metode sintetik.
Islam
juga memandang bahwa metode sangat penting dalam perkembangan ilmu pengetahuan.
Namun, seperti natur keilmuan islam yang paling utama adalah menitik beratkan
pada moral dan mamfaat pada manusia. Maka, islam tidak hanya berhenti pada
tahapan metodologis tersebut, melainkan dilanjutkan dengan pembahasan dampak
ilmu pengetahuan pada kehidupan manusia.
Capra
dalam hal ini mengatakan bahwa pada awal dua dasawarsa terakhir abad ke-20
manusia berada dalam sebuah krisis global yang serius, yaitu krisis kompleks
dan multidimensional yang sendi-sendinya menyentuh setiap aspek kehidupan,
kesehatan, mata pencarian, kualitas lingkungan dan hubungan sosial, eknomomi,
teknologi dan politik. Krisis ini masih menurut capra, menyangkut
dimensi-dimensi intelktual, moral, dan
spiritual; sebuah krisis yang belum pernah terjadi sebelumnya dalam catatan
sejarah umat manusia.
Agar
manusia terhindar dari itu, epistimologi islam sejak awal kelahirannya telah
memperlakukan metode penelitian pada dasarnya adalah satu (unity) berangkat dari pencipta yang satu (the unity of the creator), kesatuan ilmu pengetahuan (the unity of knowledge), kesatuan kreasi
(the unity of creation), kesatuan
manusia (the unity of mankind), dan
manusia harus secara sadar hidup dalam mainstream kesatuan komik (the unity of the cosmic) agar tidak
merusak ritme sosio-ekologi.
Adapun
berbagai cara atau metode yang digunakan para ilmuan yang berbeda-beda bukan
menunjukan pada banyaknya metode penelitian selama ia tetap bersandar pada
pandangan dunia islam yang tentang realitas yang disebutkan terakhir. Pandangan
seperti ini tetap sejalan dengan pemikiran epistimologi muslim, seperti ibn
Hazm, yang membedakan antara knowledge
dan science.
Metode
tafsir adalah cara bagaimana pelaksanaan interpretasi (tafsir) al-Qur’an dapat
dengan mudah dilaksanakan. Namun, karena metode tafsir sebagai sebuah kajian
keilmuan lebih belakang lahirnya dibandingkan dengan tafsirnya, maka tidak
sedikit orang yang menggunakan metode tafsir sebagai piranti analisis
penafsiran al-Qur’an, melainkan dimamfaatkan untuk memahami hasil penafsiran
yang sudah dilakukan para ulama salaf.
Sebab
ini pula, metode tafsir dirasakan lebih tertinggal dari pada perkembangan
tafsirnya karena tafsir lahir jauh sebelum metode tafsir dijadikan sebagai
obyek kajian ilmiah, bahkan tafsir al-Qur’an sudah ada sejak masa awal turunya
al-Qur’an. Sekalipun pada masa awal perkembangnya, penafsir al-Qur’an lebih
merupakan hak prerogatif Nabi saw sebagai penerima dan yang paling mengerti
maksud al-Qur’an, dalam perkembangannya penafsiran al-Qur’an dilakukan oleh
beberapa sahabat tertentu yang disampaikan pada beberapa muridnya.
B. Pandangan
Alternatif Klasifikasi Metode Tafsir
Penafsiran
terhadap al-Qur’an pada dasarnya merupakan otoritas Nabi saw karena hanya
Nabi-lah yang memahami apa yang dimaksudkan seluruh ayat yang ada dalam
al-Qur’an, maka setelah Nabi saw meninggal, para sahabat memahami al-Qur’an
dengan cara bertanya pada para sahabat yang terkenal sebagai ahli tafsir.
Artinya, pada masa sahabat ini sudah ada penafsiran al-Qur’an sekalipun masih
bersifat riwayat, yakni belum dikodifikasi ke riwayat berikutnya. Cara
penafsiran seperti ini berjalan hingga paruh kedua abad ke 2 Hijryah.
Setelah
paruh kedua abad ke 2 Hijriah, ulama membukukan tafsir al-Qur’an sebagai bagian
dari atau menjadi bab dalam kitab-kitab Hadits. Cara pembukuan seperti ini
berjalan sekitar satu abad lamanya hingga pada sekitar dasawarsa terakhir abad
ke-3 Hijriah atau dasawarsa pertama abad ke-4 Hijryah, kitab tafsir
dikodifikasi tersendiri. Pada masa ini, bab tafsir dalam beberapa kitab hadits
yang berkembang pada abad ke 3 Hijryah masih tetap ada. Diantara tokoh yang
terkenal pada masa abad ini, bahkan hingga sekarang ialah Abu j’far Muhammad
bin Jarir al-Thabariy (224-310), dengan kitabnya jami’ al-Bayan ‘an Ta’wil Ayi al-Qur’an. Sekalipun kitab ini merupakan
kitab tafsir yang paling terkenal dan di tulis oleh seorang tokoh yang
terpopuler keintelktualnya, corak penafsirannya masih tampak berpegang teguh
pada cara penafsiran al-Qur’an dengan menggunakan analisis kebahasaan yang
bersifat leksiografis, yakni pembahasan berdasarkan analisis tata bahasa Arab (i’rab) atau belakangan sering di sebut
dengan pendekatan atau metode analisis struktural.
Saat
ini, dimana metodologi penelitian sudah menemukan karakteristiknya, sistem
pembagian terhadap tafsir pun perlu dikaji berdasarkan atas keilmuan
metodologis, sehingga dapat memperkokoh karakter tafsir masing-masing. Namun demikian,
sebagai uama tafsir belum menjadikan metodologi sebagai salah satu alternative
didalam membuat klasifikasi metode tafsir, sehingga tidak mudah dipahami. Abdul
Hayy al-Farmawi, misalnya, membagi metode tafsir pada empat macam metode
penafsiran al-Qur’an, yaitu metode tahlili, ijmali, muqarin, dan maudlu’i. cara
pembagian metode seperti ini kurang tepat jika di tinjau dari ilmu metode
(metodologi) dalam penelitian ilmu pengetahuan. Sistem pembagian juga telah
mengakibatkan kebingungan dalam menentukan kategorisasi tafsir dikalangan
mahasiswa atau dosen ahli metodologi penelitian.
C. Mengkritisi
pendekatan tafsir: tekstual dan kontekstual
Pendekatan
yakni manhaj al-fikr (pola pikir)
yang digunakan untuk menatap obyek studi. Dalam hal ini, landasan pendekatan
studi al-Qur’an, seperti disebutkan pada bab sebelumnya adalah pendekatan
teologis yang dengannya dibentuk suatu paradigma keilmuan yang diilhami
al-Qur’an.
Pendekatan
tekstual adalah sebuah pendekatan studi al-Qur’an yang menjadikan lafal-lafal
al-Qur’an sebagai obyek. Pendekatan ini menekankan analisisnya pada sisi
kebahasaan dalam memahami al-Qur’an. Secara praktis, pendekatan ini dilakukan
dengan memberikan perhatian pada ketelitian redaksi dan bingkai teks ayat-ayat
al-Qur’an.
Pendekatan
tekstual dalam studi al-Qur’an tidak hanya terbatas pada hal-hal tersebut,
lebih dari itu pendekatan tekstual juga mengunakan konsep kajian struktur
bahasa (pendekatan nahwiyah/ struktur
bahasa Arab) dan sastra (balaghah/ilmu
sastra Arab). Belakangan pendekatan tekstual juga menggunakan pendekatan
filologis dan semantik.
Kebanyakan
tafsir yang mengunakan pendekatan tekstual setidaknya dapat di berikan
cirri-ciri berikut :
1. banyak
melakukan pengkajian nahwiyah atau bacaan yang berbeda-beda (strukturalis).
2. Melakukan
pengkajian asal-usul bahasa dengan melansir syair-syair Arab (heruistik dan
hermeneutic).
3. Banyak
mengandalkan cerita atau pendapat sahabat dalam menafsirkan makna lafal yang
sedang dikaji (riwayat).
Keistimewaan
dan kelemahan pendekatan ini menurut M. Quraish Shihab :
1. Keistemawaannya
antara lain :
a. Menekankana
pentingnya bahasa dalam memahami al-Qur’an
b. Memaparkan
ketelitian redaksi ayat ketika menyampaikan pesan-pesanya.
c. Mengikat
mufasir dalam bingkai teks ayat-ayat, sehingga membatasinya terjerumus dalam subjektivitas
yang berlebihan
2. Kelemahannya
ialah :
a. Terjerumusnya
sang mufasir dalam uraian kebahasaan dan kesustraan yang bertele-tele, sehingga
pesan pokok al-Qur’an menjadi kabur di celah uraian itu.
b. Seringkali
konteks turunya ayat (uraian asbab
al-nuzul atau sisi kronologis turunya ayat-ayat hukum yang dipahami dari
uraian nasikh-mansukh) hampir dapat
dikatakan terabaikan sama sekali.
Pendekatan
kontekstual dalam studi al-Qur’an ialah suatu pendekatan yang mencoba memahami
makna dan kandungan ayat-ayat al-Qur’an dengan memahami konteks mengapa dan
dalam kondisi apa ayat tersebut di turunkan, untuk kepentingan ini, ulama ulum al-Qur’an telah membuat kerangka
historis ayat-ayat yang mempunyai sebab turunya dalam ‘ilm asbab al-nuzul, yakni ilmu yang mempelajari tentang berbagai
kasus, kejadian, atau pertanyaan, yang menjadi sebab turunya al-Qur’an. Akan
tetapi, sebab turun yang dimaksudkan disini tidak dipahami seperti hukum
kausalitas karena apabila dipahami demikian, akan timbul kesalahpahaman bahwa
seandainya tidak ada kejadian, maka tidak aka nada ayat diturunkan. Oleh
karenanya, pengertian “sebab turun” dimaksudkan untuk melihat dalam kondisi apa
dan bagaimana ayat itu diturunkan, dengan tersebut maka maksud ayat tersebut
dapat di pahami.
Tidak
semua ayat mempunyai kasus demikian, untuk melakukan pendekatan kontekstual
diperlukan pemahaman terhadap semua kondisi bangsa Arab yang melingkupi
turunnya al-Qur’an. Pemahaman terhadap kondisi obyektif seperti ini akan dapat
membantu penafsir memahami maksud dan kandungan ayat yang sedang di teliti.
Misalnya untuk memahami hukum riba yang terdapat dalam QS. Al-Bagarah 2 :278
dan Ali ‘Imran (3):130, maka penafsir harus memahami prilaku ekonomi bangsa
Arab ketika itu. Sejarah budaya bangsa Arab dengan demikian akan sangat
membantu penafsir memahami maksud ayat yang sedang di telitinya.