A. Pendahuluan
Sebelum islam masuk ke Indonesia, agama Hindu dan Budha telah berkembang luas di Nusantara ini-di samping banyaknya yang masih menganut animism dan dinamisme. Kedua agama itu kian lama kian pudar cahayanya dan akhirnya kedudukannya sepenuh diganti oleh agama islam yang kemudian menjadi anutan hingga 95 persen rakyat Indonesia. Sebab sangat pesat dan cepatnya tersiarnya islam di Indonesia antara lain adalah dimana faktor agama islam (akidah, syariah, dan ahklak islam) sendiri yang ebih banyak “berbicara” kepada segenap lapisan masyarakat Indonesia (penguasa, pedagang, petani, dan lain sebagainya).[1]
Para ulama awal yang berdakwah di Sumatera dan Jawa melahirkan kader-kader dakwah yang terus menerus mengalir. Islam masuk ke Kalimantan atau yang lebih dikenal dengan Borneo[2] kala itu. Di pulau ini, ajaran Islam masuk dari dua pintu. Jalur pertama yang membawa Islam masuk ke tanah Borneo adalah jalur Malaka yang dikenal sebagai Kerajaan Islam setelah Perlak dan Pasai[3]. Jatuhnya Malaka ke tangan penjajah Portugis kian membuat dakwah semakin menyebar. Para mubaligh-mubaligh dan komunitas Islam kebanyakan mendiami pesisir Barat Kalimantan.
Jalur lain yang digunakan menyebarkan dakwah Islam adalah para mubaligh yang dikirim dari Tanah Jawa. Ekspedisi dakwah ke Kalimantan ini menemui puncaknya saat Kerajaan Demak berdiri[4]. Demak mengirimkan banyak mubaligh ke negeri ini. Perjalanan dakwah pula yang akhirnya melahirkan Kerajaan Islam Banjar dengan ulama-ulamanya yang besar, salah satunya adalah Syekh Muhammad Arsyad al Banjari.
Dengan Muhamaad ‘Arsyad Al-Banjari kini kita sampai di Kalimantan selatan, suatu wilayah perkembangan islam yang masih belum di telaah secara memadai. Seperti di tempat-tempat lain di nusantara, telaah telaah islam di Kalimantan selama ini terutama hanya memusatkan perhatian pada masalah-masalah kapan, bagaimana, dan dari mana islam memasuki wilayah ini. Hampir tidak ada pembahasan mengenai pertumbuhan lembaga-lembaga islam dan tradisi keilmuan dikalangan penduduk Muslimnya. Mengingat hal ini, peranan penting Muhammad ‘Arsyad terletak bukan hanya pada keterlibatannya dalam jaringan ulama, melainkan juga pada kenyataan bahwa dia merupakan ulama pertama yang mendirikan lembaga-lembaga islam serta memperkenalkan gagasan-gagasan keagamaan baru Kalimantan selatan.
B. Kedatangan islam dan perkembangannya di Kalimantan selatan
Islam masuk ke selatan Kalimantan sekitar abad ke-15 hasil dari kegiatan para mubaligh dari jawa, terutamanya dari Sunan Giri dan kemudian Khatib Dayyan atau nama asalnya Sayyid Abdul Rahman. Di sini terdapat sebuah kerajaan yang bernama Daha yang terletak di daerah Banjar dan merupakan daerah taklukan Majapahit.[5] Namun islam masuk kekalimantan selatan pada masa jauh lebih belakang dibanding, misalnya, Sumatra utara atau aceh. Islam mencapai momentumnya baru setelah pasukan kesultanan demak di jawa datang kebanjarmasin untuk membantu pangeran samudra dalam perjuangannya dengan kalangan elite istana kerajaan Daha. Setelah kemenangannya, pangeran samudra beralih memeluk agama islam pada sekitar 936/1526 dan diangkat sebagai sultan pertama di kesultanan banjar. Dia di beri gelar Sultan Suriah Syah atau surian Allah oleh seorang dai arab.[6] Dengan berdirinya Kesultanan Banjar, otomatis Islam dianggap sebagai agama resmi negara.
Sebenarnya kemunculan Kerajaan Banjar berkaitan rapat dengan peranan Pangeran Samudra dan Patih Masih dua orang pemimpin besar yang sudah memeluk Islam. Apabila berlaku pertentangan politik antara pangeran Tumenggung dengan pangeran samudra, Patih Mirih lalu berpihak kepada pangeran samudera, bahkan di belakang mereka berdiri umat islam Banjar serta mendapat bantuan ketenteraan dari kerajaan Demak di Jawa. Memang sejak dahulu lagi rakyat Daha/Banjar sangat fanatic kepada Majapahit, tetapi dengan kejatuhan Majapahit dan kebangkitan Demak lalu mereka memandang Demak pula sebagai mercu-suar dan kebanggaan mereka.[7]
Di Kalimantan Selatan terutama sejak abad ke-14 sampai awal abad ke-16 yakni sebelum terbentuknya Kerajaan Banjar yang berorientasikan Islam, telah terjadi proses pembentukan negara dalam dua fase. Fase pertama yang disebut Negara Suku (etnic state) yang diwakili oleh Negara Nan Sarunai milik orang Maanyan. Fase kedua adalah negara awal (early state) yang diwakili oleh Negara Dipa dan Negara Daha. Terbentuknya Negara Dipa dan Negara Daha[8] menandai zaman klasik di Kalimantan Selatan. Negara Daha akhirnya lenyap seiring dengan terjadinya pergolakan istana, sementara lslam mulai masuk dan berkembang disamping kepercayaan lama. Zaman Baru ditandai dengan lenyapnya Kerajaan Negara Daha beralih ke periode negara kerajaan (kingdom state) dengan lahirnya kerajaan baru, yaitu Kerajaan Banjar pada tahun 1526 yang menjadikan Islam sebagai dasar dan agama resmi kerajaan.
Zaman keemasan Kerajaan Banjar terjadi pada abad ke-17 hingga abad ke-18. Pada masa itu terjadi puncak perkembangan Islam di Kalimantan Selatan sebagaimana ditandai oleh lahirnya Ulama-ulama Urang Banjar yang terkenal dan hasil karya tulisnya menjadi bahan bacaan dan rujukan di berbagai negara, antara lain Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari.
Berbeda dengan Muhammad Arsyad yang menjadi perintis pusat pendidikan Islam, Muhammad Nafis mencemplungkan dirinya dalam usaha penyebar-luasan Islam di wilayah pedalaman Kalimantan. Dia memerankan dirinya sebagai ulama sufi kelana yang khas, keluar-masuk hutan me-nyebarkan ajaran Allah dan Rasul-Nya. Dan oleh karena itu beliau memainkan peranan penting dalam mengembangkan Islam di Kalimantan.
Namun demikian, kaum muslimin hanya merupakan kelompok minoritas di kalangan penduduk. Para pemeluk Islam, umumnya hanya terbatas pada orang-orang Melayu. Islam hanya mampu masuk secara sangat perlahan di kalangan suku Dayak[9]. Bahkan di kalangan kaum Muslim Melayu, kepatuhan kepada ajaran Islam boleh dibilang minim dan tidak lebih dari sekadar pengucapan dua kalimah syahadat. Di bawah para sultan yang turun-temurun hingga masa Muhammad Arsyad dan Muhammad Nafis, tidak ada upaya yang serius dari kalangan istana untuk menyebarluaskan Islam secara intensif di kalangan penduduk Kalimantan. Karena itu, tidak berlebih jika Muhammad Nafis dan terlebih Muhammad Arsyad Al-Banjari merupakan tokoh penting dalam proses Islamisasi lebih lanjut di Kalimantan. Dua orang ini pula yang memperkenalkan gagasan-gagasan keagamaan baru di Kalimantan Selatan.
C. Sejarah kesultanan banjar.
Kemunculan Kerajaan Banjar tidak lepas dari melemahnya pengaruh Negara Daha sebagai kerajaan yang berkuasa saat itu. Kerajaan banjar merupakan kelanjutan dari kerajaan Daha yang beragama hindu.[10] Tepatnya pada saat Raden Sukarama memerintah Negara Daha. menjelang akhir kekuasaannya dia mewasiatkan tahta kekuasaan Negara Daha kepada cucunya yang bernama Raden Samudera.[11] Akan tetapi, wasiat tersebut ditentang oleh ketiga anak Raden Sukarama yaitu Mangkubumi, Tumenggung dan Bagulung. Setelah Raden Sukarama wafat, Pangeran Tumenggung merebut kekuasaaan dari pewaris yang sah yaitu Raden samudera dan merebut tahta kekuasaan Negara Daha.
Raden Samudera sebagai pihak yang kalah melarikan diri dan bersembunyi di daerah hilir sungai barito. Dia dilindungi oleh kelompok orang melayu yang menempati wilayah itu. Kampung orang melayu itu disebut kampung oloh masih yang artinya kampung orang melayu pimpinan Pati Masih. Lama kelamaan kampung ini berkembang menjadi kota banjarmasih karena ramainya perdagangan di tempat ini dan banyaknya pedagang yang menetap. Dalam pelarian politiknya, raden Samudera melihat potensi Banjarmasin dengan sumber daya manusianya dapat dijadikan kekuatan potensial untuk melawan kekuatan pusat, yaitu Negara Daha. Kekuatan Banjarmasin untuk melakukan perlawaann terhadap Negara Daha akhirnya mendapat pengakuan formal setelah komunitas melayu mengangkat Raden Samudera sebagai kepala Negara.
Pengangkatan ini menjadi titik balik perjuangan Raden Samudera[12]. Terbentuknya kekuatan politik baru di banjarmasin, sebagai kekuatan politik tandingan bagi Negara Daha ini menjadi media politik bagi Raden Samudera dalam usahanya memperoleh haknya sebagai Raja di Negara Daha, sedangkan bagi orang Melayu merupakan media mereka untuk tidak lagi membayar pajak kepada Negara Daha
Setelah menjadi Raja di Banjarmasin, Raden Samudera dianjurkan oleh Patih Masih untuk meminta bantuan Kerajaan Demak.[13] Permintaan bantuan dari Raden Samudera diterima oleh Sultan Demak, dengan syarat Raden Samudera beserta pengikutnya harus memeluk agama Islam. Syarat tersebut disanggupi Raden Samudera dan Sultan Demak mengirimkan kontingennya yang dipimpin oleh Khatib Dayan. Setibanya di Banjarmasin, kontingen Demak bergabung dengan pasukan dari Banjarmasin untuk melakukan penyerangan ke Negara Daha di hulu sungai Barito. Setibanya di daerah yang bernama Sanghiang Gantung, pasukan Banjarmasin dan Kontingen Demak bertemu dengan Pasukan Negara daha dan pertempuran pun terjadi. Pertempuran ini berakhir dengan suatu mufakat yang isinya adalah duel antara Raden samudera dengan Pangeran Tumenggung. Dalam duel itu, Raden Samudera tampil sebagai pemenang dan pertempuran pun berakhir dengan kemenangan banjarmasin.
Setelah kemenangan dalam pertempuran, Raden Samudera memindahkan Rakyat Negara Daha ke Banjarmasin dan Raden Samudera dikukuhkan sebagai Kepala negaranya. Pembauran penduduk Banjarmasin yang terdiri dari rakyat Negara Daha, Melayu, Dayak dan orang jawa (kontingen dari Demak) menggambarkan bersatunya masyarakat di bawah pemerintahan Raden Samudera. Pengumpulan penduduk di banjarmasin menyebabkan daerah ini menjadi ramai, ditambah letaknya pada pertemuan sungai barito dan sungai martapura[14], menyebabkan lalu lintas menjadi ramai dan terbentuknya hubungan perdagangan. Raden Samudera akhirnya menjadikan Islam sebagai agama negara dan rakyatnya memeluk agama Islam. Pangeran Samudera sendiri, setelah masuk islam, siberi nama Sultan Suryanullah atau suriansyah, yang dinobatkan sebagai raja pertama dalam kerajaan Islam Banjar.[15]
Meski dengan berdirinya kesultanan Banjar, islam tampaknya telah dianggap secara resmi sebagai agama Negara, kaum Muslim ternyata hanya merupakan kelompok minoritas di kalangan penduduk. Para pemeluk islam, umumnya, terbatas pada orang-orang Melayu; islam hanya mampu masuk secara perlahan kekalangan suku dayak. Bahkan dikalangan kaum Muslim Melayu, kepatuhan kepada islam sangat minim dan tidak lebih dari pengucapan syahadah.[16]
Kerajaan Banjar semakin berkembang dan lama kelamaan luas wilayahnya semakin bertambah. Kerajaan ini pada masa jayanya membentang dari banjarmasin sebagai ibukota pertama, dan martapura sebagai ibukota pengganti setelah banjarmasin direbut belanda, daerah tanah laut, margasari, amandit, alai, marabahan, banua lima yang terdiri dari Nagara, Alabio, Sungai Banar, Amuntai dan Kalua serta daerah hulu sungai barito. Kerajaan semakin diperluas ke tanah bumbu, Pulau Laut, Pasir, Berau dan kutai di panati timur. Kotawaringin, Landak, Sukadana dan sambas di sebelah barat. Semua wilayah tersebut adalah Wilayah Kerajaan Banjar (yang apabila dilihat dari peta zaman sekarang, Kerajaan Banjar menguasai hampir seluruh wilayah kalimantan di 4 provinsi yang ada). Semua wilayah tersebut membayar pajak dan upeti. Semua daerah tersebut tidak pernah tunduk karena ditaklukkan, tetapi karena mereka mengakui berada di bawah Kerajaan Banjar, kecuali daerah pasir yang ditaklukkan pada tahun 1663
C.II. Raja-Raja Kerajaan Banjar
Kerajaan Banjar yang berdiri pada 24 september 1526 sampai berakhirnya perang Banjar yang merupakan keruntuhan kerajaan Banjar memiliki 19 orang raja yang pernah berkuasa. Sultan pertama kerajaan Banjar adalah Sultan Suriansyah (1526 - 1545), beliau adalah raja pertama yang memeluk Agama Islam. Raja terakhir adalah Sultan Mohammad Seman (1862 - 1905), yang meninggal pada saat melakukan pertempuran dengan belanda di puruk cahu[17].
Sultan Suriansyah sebagai Raja pertama mejadikan Kuin Utara sebagai pusat pemerintahan dan pusat perdagangan Kerajaan Banjar. Sedangkan Sultan Mohammad Seman berkeraton di daerah manawing - puruk cahu sebagai pusat pemerintahan pelarian.
Berikut adalah rincian Raja-raja Kerajaan Banjar sejak berdirinya kerajaan hingga runtuhnya kerajaan itu :
· 1526 - 1545 : Pangeran Samudra yang kemudian bergelar Sultan Suriansyah, Raja pertama yang memeluk Islam
· 1545 - 1570 : Sultan Rahmatullah
· 1570 - 1595 : Sultan Hidayatullah
· 1595 - 1620 : Sultan Mustain Billah, Marhum Penambahan yang dikenal sebagai Pangeran Kecil. Sultan inilah yang memindahkan Keraton Ke Kayutangi, Martapura, karena keraton di Kuin yang hancur diserang Belanda pada Tahun 1612
· 1620 - 1637 : Ratu Agung bin Marhum Penembahan yang bergelar Sultan Inayatullah
· 1637 - 1642 : Ratu Anum bergelar Sultan Saidullah
· 1642 - 1660 : Adipati Halid memegang jabatan sebagai Wali Sultan, karena anak Sultan Saidullah, Amirullah Bagus Kesuma belum dewasa
· 1660 - 1663 : Amirullah Bagus Kesuma memegang kekuasaan hingga 1663, kemudian Pangeran Adipati Anum (Pangeran Suriansyah) merebut kekuasaan dan memindahkan kekuasaan ke Banjarmasin=
· 1663 - 1679 : Pangeran Adipati Anum setelah merebut kekuasaan memindahkan pusat pemerintahan Ke Banjarmasin bergelar Sultan Agung
· 1679 - 1700 : Sultan Tahlilullah berkuasa
· 1700 - 1734 : Sultan Tahmidullah bergelar Sultan Kuning
· 1734 - 1759 : Pangeran Tamjid bin Sultan Agung, yang bergelar Sultan Tamjidillah
· 1759 - 1761 : Pangeran Muhammad Aliuddin Aminullah
· 1761 - 1801 : Pangeran Nata Dilaga sebagai wali putera Sultan Muhammad Aliuddin yang belum dewasa tetapi memegang pemerintahan dan bergelar Sultan Tahmidullah
· 1801 - 1825 : Sultan Suleman Al Mutamidullah bin Sultan Tahmidullah
· 1825 - 1857 : Sultan Adam Al Wasik Billah bin Sultan Suleman
· 1857 - 1859 : Pangeran Tamjidillah
· 1859 - 1862 : Pangeran Antasari yang bergelar Panembahan Amir Oeddin Khalifatul Mu'mina
· 1862 - 1905 : Sultan Muhammad Seman yang merupakan Raja terakhir dari Kerajaan Banjar
Setelah dikalahkannya Sultan Muhammad Seman oleh Belanda pada tahun 1905, praktis seluruh wilayah Kerajaan banjar jatuh ke tangan Belanda dan Kerajaan Banjar runtuh. Akan tetapi semangat yang dikobarkan pejuang perang Banjar melalui sumpah perjuangan "haram manyarah waja sampai kaputing" benar-benar memberikan semangat untuk mempertahankan Kerajaan Banjar. Walaupun akhirnya jatuh ke tangan belanda juga, kita mesti menghargai perjuangan para pejuang yang telah mengorbankan segalanya untuk mempertahankan Kerajaan Banjar. Kota Banjarmasin yang sekarang adalah bukti sejarah hasil perjuangan Sultan Suriansyah dan pengikutnya.
Perang Banjarmasin ini terjadi antara lain karena pengambil alihan daerah-daerah kekuasaan Kesultanan oleh Belanda, dan campur tangan Belanda dalam pengangkatan pejabat tinggi Kesultanan yang diangap melanggar adat kebiasaan. Sejak tahun 1787, satu persatu wilayah kekusaan Kesultanan Banjarmasin diambil alih Belanda. Pada masa pemerintahan sultan Adam Alwasih (1825-1857), wilayah kesultanan Banjarmasin yang masih dikuasai oleh sultan hannyalah Hulu Sungai, Martapura, dan sebagaian daerah inti banjar masin. Lebih dari itu, sejak tahun 1826, Belanda menuntut hak ikut menentukan pengangkatan putra mahkota dan mangkubumi.[18]
D. Peran Ulama dan Pembentukan Tradisi Intelektual Di Kalimatan Selatan
Ulama merupakan penggerak utama dalam penyebaran agama islam di Nusantara. Ulama dianggap sebagai penggerak karena pemikiran serta pendekatan yanga dilakukan oleh merekalah, maka Islam telah berkembang di Nusantara. Di samping itu, ulama juga memahi psikologi masyarakat, sehingga kehadiran agama dalam tradisi dan budaya masyarakat setempat tidak dianggap sebagai musuh yang menakutkan, tetapi hadir dalam keramahan dan dapat diterima oleh mereka.
Adapun ulama yang sangat berpengaruh dalam pembentukan tradisi intelektual di Kalimantan selatan adalah Muhammad ‘Arsyad Al-Banjari. peranan penting Muhammad ‘Arsyad terletak bukan hanya pada keterlibatannya dalam jaringan ulama, melainkan juga pada kenyataan bahwa dia merupakan ulama pertama yang mendirikan lembaga-lembaga islam serta memperkenalkan gagasan-gagasan keagamaan baru Kalimantan selatan. Sedangkan tokoh ulama yang ke dua adalah Muhammad Nafis b.Idrsir b. Husayn Al-Banjari. Meski tidak mendapatkan banyak informasi mengenai kehidupannya, tidak di ragukan lagi, dia menempatkan urutan ke dua setelah Muhammad ‘Arsyad dalam pengaruh yang dimainkannya atas Kaum Muslim Kalimantan, terutama dalam bidang tasawuf. Jika Muhammad ‘Arsyad dikenal terutama sebagai ahli syariat, Muhammad Nafis termashur sebagai ulama sufi karena kaitannya yang terkenal berjudul Al-Durr Al-Nafis fi Bayan Wahdat Al-Af’al Al-Asma wa Al-Shifat wa Al-Dzat Al-Tagdis, yang beredar luas di Nusantara.[19]
A. Muhammad ‘Arsyad Al-Banjari.
Ia adalah seorang ulama paling terkenal dari Kalimantan. Ia dilahirkan di martaputra, Kalimantan selatan, muhammad’arsyad mendapatkan pendidikan dasar keagamaannya didesa sendiri, dari ayahnya dan para guru setempat, sebab tidak ada bukti bahwa surau atau pesantren telah berdiri pada masa itu di wilayah tersebut. Ketika dia berumur tujuh tahun dia diriwayatkan bahwa ia telah mampu membaca Al-Qur’an secara sempurna. Dia menjadi terkenal karena hal ini, sehingga mendorong sultan tahlil Allah (1112-58/1700-45) untuk mengajaknya beserta keluarganya tinggal diistana sultan, dikemudian hari, sultan menikahnya dengan seorang wanita; tetapi ketika istrinya mengandung, dia mengirim Muhammad ‘arsyad ke Haramayn guna menuntut ilmu lebih lanjut atas biaya kesultanan. Sultan tampaknya mengongkosinya dengan murah hati; Muhammad ;Arsyad bahkan mampu membeli sebuah rumah didaerah Syamiyah, Makkah, yang masih di pertahankan para imigran Banjar sampai waktu belakangan ini.[20]
dalam buku beberapa aspek tentang islam di Indonesia abad ke-19 dijelaskan dari keluarga mana dia berasal, tidak ada keterangan yang jelas. Tetapi menurut cerita rakyat, pada usia yang agak muda- tujuh atau delapan tahun dia sudah termashur kecerdasannya, sehingga sultan Banjar meminta kepada orang tuanya, untuk mengasuh anak itu diistana, bersama dengan anak-anak dan cucu keluarga kerajaan. Dan setelah dewasa Muhammad Arsyad dikawinkan oleh Siltan sendiri dengan seorang perempuan, bernama bajut. Tetapi ketika istrinya sudah hamil, atas permintaannya sendiri, Muh. Arsyad dikirim belajar ke makkah atas biaya sultan. Sampai sekarang rumah yang disewanya di makkah, dikampung Syamiyah masih dipelihara oleh Syekh yang berasal dari banjar masin.[21]
Di Mekkah Muhammad ‘Arsyad mempelajari agama bersama-sama dengan beberapa tokoh abad ke-18 seperti Al-Palimbani dan beberapa murid Melayu-Indonesia lainnya, tetapi jika Al-Palimbani mempunyai sejumlah guru, namun guru-guru Muhammad ‘Arsyad yang dikenal hanya Al-Sammani, Al-Damanhuri, Sulayman Al-Kurdi, dan Atha Allah Al-Mashri. Ada kemungkinan dia belajar dengan guru-guru lain terutama dengan Ibrahim Al-Rais Al-Zamzami, yang darinya Muhammad ‘Arsyad boleh jadi mempelajari ‘ilm al-falak (astronomi), bidang yang menjadikannya salah seorang ahli paling menonjol diantara ulama Melayu-Indonesia.
Pada akhir studinya di Mekkah kepada Syekh Arsyad al-banjari di berikan izin untuk mengajar di Masjidi’l Haram dan mengeluarkan fatwa. Yang dipersoalkan disana antara lain adalah persoalan, apakah Sultan Banjar berhak menghukum orang yang tidak melaksanakan sholat jum’at dengan denda uang kepadanya. Persoalan ini kemudian dimuat dalam kitab fatwa, karangan Syekh Sulaiman Kurdi.[22]
Mempertimbangkan karya-karya dan kegiatan-kegiatannya setelah dia kembali ke Nusantara, kita dapat berasumsi atau berangapan bahwa Muhammad ‘Arsyad adalah seorang ahli dalam bidang fikih atau syariah, terutama karena adanya fakta bahwa bukunya yang paling termashur yang berjudul Sabil Al-Muhtadin adalah buku fikih. Tetapi ini tidak lantas berarti dia tidak menguasai ilmu tasawuf; diketahui bahwa dia juga menulis sebuah karya yang berjudul kanz al-marifah, yang membahas tentang tasawuf. Jadi, Muhammad’Arsyad mendapat keahlian dalam ilmu lahir (al-zhahir) maupun ilmu bathin (al-bathin), atau sepeti ditulis steenbrink, dia telah menguasai fikih dan tasawuf.[23] Muhammad ‘Arsyad menerima tarekat Sammaniyah dari Al-Sammani, dan dia dianggab sebagai ulama paling bertangung jawab atas tersebarnya tarekat Sammanyah di Kalimantan.
Muhammad ‘Arsyad belajar sekitar tiga puluh tahun di makkah dan lima tahun di madinah sebelum kembali ke Nusantara. Beberapa tahun sebelum ia kembali, diriwayatkan dia mulai mengajar murid-murid di Al-Masjid Al-Haram, Makkah.[24] Namun, Muhammad ‘Arsyad merasa belum mendapatkan pengetahuan yang memadai. Bersama dengan Al-Palimbani, Abd Al-Rahman Al-Batawi, dan Abd Al-wahhab Al-Bugisi dia meminta izin guru mereka, Atha Allah Al-Mashri, untuk menambah pengetahuan di kairo. Meski menghargai niat baik mereka, Atha Allah menyarankan jauh lebih baik bagi mereka kembali ke nusantara, sebab dia percaya mereka telah memiliki pengetahuan yang lebih cukup yang dapat mereka mamfaatkan untuk mengajarkan di tanah air.
Muhammad ‘Arsyad bersama Abd Al-Rahman Al-Batawi Al-Mashri dan Abd Al-Wahhab Al-Bugisi kembali ke Nusantara pada 1186/1773. Sebelum dia pergi ke Banjarmasin, atas permintaan Al-Batawi, Muhammad ‘Arsyad tinggal di Batavia selama dua bulan. Meski dia tinggal di Batavia hanya untuk waktu yang relatif singkat dia mampu melancarkan pembaruan penting bagi kaum Muslim Batavia. “Salah satunya ia sempat memperbaiki arah kiblat Mesjid Jembatan Lima dengan mengunakan ilmu falaknya (Astronomi).”[25]
Semangat pembaruan dalam pribadi Muhammad ‘Arsyad untuk memperkenalkan gagasan-gagasan dan lembaga-lembaga keagamaan yang baru juga tampak jelas setelah dia kembali ke Martaputra, Kalimantan selatan. Salah satu hal yang pertama dilakukannya setelah kedatangannya adalah mendirikan lembaga-lembaga pendidikan islam yang sangat penting untuk mendidik kaum Muslim guna meningkatkan pemahaman mereka atas ajaran-ajaran dan praktik-praktik islam. Untuk tujuan itu, Muhammad ‘Arsyad meminta sultan Tahmid Allah II (1187-1223/1773-1808) Memberinya sebidang besar tanah tak terpakai di luar ibu kota kesultanan. Dia dan Abd Al-Wahhab Al-Bugisi, yang kini menikah dengan putrid Muhammad ‘Arsyad membangun sebuah pusat pendidikan islam yang serupa cirri-cirinya dengan surau di Sumatra Barat atau Pesantren di jawa.
Muhammad ‘Arsyad mengambil langkah penting lain untuk menguatkan islamisasi di wilayahnya dengan jalan memperbaharui administrasi keadilan di kesultanan Banjar. Disamping menjadikan doktrin-doktrin hukum Islam sebagai acuan terpenting dalam pengadilan kriminal, Muahammad ‘Arsyad, dengan dukungan Sultan, mendirikan pengadilan islam terpisah untuk mengurus masalah-masalah hukum sipil murni. Dia juga memprakarsai di perkenalkannya jabatan mufti, yang bertanggung jawab mengeluarkan fatwa mengenai masalah-masalah keagamaan dan sosial.[26] Dengan prakarsa ini, Muhammad Arsyad berusaha menjalankan Hukum islam di wilayah kekuasaan Kesultanan Banjar.
B. Muhammad Nafis Al-Banjari
Muhammad Nafis lahir pada 1148/1735 di Martapura dari keluarga bangsawan Banjar. Jadi, dia hidup pada priode yang sama denga Muhammad ‘Arsyad. Tidak ada catatan mengenai tahun kematiannya, meski di ketahui dia meninggal dunia dan di kuburkan di Kelua, sebuah desa kira-kira 125 km dari Banjarmasin. Pendidikan awal Muhammad Nafis tidak begitu jelas, tetapi kemungkinan besar dia diajari mengenai prinsip-prinsip dasar Islam di wilayah tempat tinggalnya sendiri. Di kemudian hari, kita dapati dia belajar di Makkah, sebagaimana dia tuliskan dalam catatan pendahuluan bagi Karyanya Al-Durr Al-Nafis:”… dia yang menulis risalah ini.. yaitu Muhammad Al-Nafis b. ‘Idris b. Al-Husayn, yang dilahirkan di banjar dan hidup di Makkah.” Tidak ada informasi tentang apakah dia belajar bersama Al-Palimbani, Muhammad ‘Arsyad, dan rekan-rekan mereka yang telah di kemukakan sebelumnya, tetapi besar kemungkinan masa belajar Muhammad Nafis di Haramayn bersama dengan masa belajar Al-Palimbani dan rekannya yang lain.
Muhammad Nafis di berbagai tempat dalam Al-Durr Al-Nafis menyatakan ia belajar dengan sejumlah ulama di Haramayn, yang paling terkenal diantaranya adalah Al-Sammani, Muhammad Al-Jawhari, ‘Abd Allah b. Hijazi Al-Syargawi, Muhammad Shiddig b. ‘Umar Khan dan ‘Abd Al-Rahman b. Abd Al-Aziz Al-Maghribi. Muhammad Shiddiq b, ‘Umar Khan adalah murid Al-Sammani, dan Abd Al-Aziz Al-Maghribi, dan kelihatan dia merupakan kawan dekat Al-Palimbani. Yang terakhir itu bahkan memasukan judul beberapa karya Muhammad Shiddiq kedalam daftar karya-karya yang disarankannya untuk dibaca calon kelana di jalan sufi.[27]
Telah di kemukakan bahwa riwayat hidup Al-Sammani dan Muhammad Al-Jawhari, yang merupakan guru-guru dan juga kawan-kawan Al-Palimbani, kenyataan bahwa Muhammad Nafis belajar dengan Al-Sammani, Al-Jawhari, dan Muhammad Shiddiq menunjukan bahwa dia benar-benar kawan seperguruan Al-Palimbani, Muhammad ‘Arsyad, dan rekan-rekan Melayu Indonesia lainnya.
Sedangkan mengenai ‘Abd Allah b. Hijazi (b. Ibrahimi) Al-Syargawi Al-AZHARI (1150-1227/1737-18120), dia adalah syaikh Al-Islam dan syaikh Al-Azhar sejak 1207/1794. Al-Syargawi dua tahun lebih muda dibanding dengan Muhammad Nafis, tetapi usianya sama sekali bukan merupakan penghalang untuk belajar, mengingat kenyataandia merupakan salah seorang ulama terkemuka dalam priode itu; sehingga ia dapat dipandang menjadi salah seorang guru yang paling banyak di cari.
Syeikh Muhammad Nafis al-Banjari seperti ulama-ulama sufi lainnya, ia juga mendapat tantangan dari orang-orang yang tidak sependapat dengan ajaran tasahufnya. Namun tidak sehebat tantangan terhadap Syeikh Hamzah al-Fansuri dan Syeikh Syamsuddin as-Sumatrani. Dalam perkembangan mutakhir golongan sufi dunia Melayu cukup sering dibicarakan. Muhammad Nafis Al-Banjari, seperti kebanyakan ulama Melayu-Indonesia, mengikuti mazhab Syafii dan doktrin teologi Asy’ari. Dia berafiliasi dengan beberapa tarekat : Qadiryah, S syathariyah, Sammaniyah, Naqsyabandiyah, dan Khalwatiyah.[28] Muhammad Nafis adalah ahli kalam dan tasawuf, karyanya, Durr Al-Nafis, menekankan trasendensi mutlak dan keesaan Tuhan, menolak pendapat Jabariyah yang mempertahankan determinisme fatalistic yang bertentangan dengan kehendakan bebas (Qadaryah). Menurut pendapat Muhammad Nafis, kaum muslim harus berjuang mencapai kehidupan yang lebih baik dengan jalan melakukan perbuatan-perbuatan baik dan menghindari kejahatan. Jadi Muhammad Nafis jelas adalahpendukung Aktivisme, salah satu dasar neo-sufisme. Dengan tekanan kuat pada aktivisme Muslim, tidak mengherankan bukunya dilarang belanda, karena dikhawatirkan akan mendorong kaum muslim melancarkan jihad.[29]
Oleh sebagina ulama ia dianggap cenderung bersifat wihdatu ‘l-wujud atau panteistik. Syekh Muhammad membagi empat tingkat tahwid, yaitu tawhidu’l-af’al (keesaan perbuatan), tawhidu’l-asma (keesaan nama), tawhidu’l-sifat (keesaan sifat), dan tawhidu’i-dzat (keesaan zat). Walau beberapa ulama melarang mempelajari buku tersebut, tulisannya masih diajarkan dalam pengajian-pengajian di berbagai daerah Indonesia dan Kawasan Melayu di Asia Tenggara.[30]
Tidak ada informasi mengenai kapan Muhammad Nafis Al-Banjari kembali ke Nusantara. Tampaknya, dia pergi langsung ke Kalimantan. Berbeda dengan Muhammad ‘Arsyad, yang menjadi printis pusat pendidikan islam, Muhammad Nafis mencurahkan dirinya dalam usaha melanjutkan penyebaran Islam di wilayah pedalaman Kalimantan Selatan. Dia benar-benar seorang guru sufi kelana yang khas, yang memainkan peranan penting dalam mengembangkan Islam di Kalimantan.[31]
E. Kesimpulan
Islam masuk kekalimantan selatan pada masa jauh lebih belakang dibanding, misalnya, Sumatra utara atau aceh. Diperkirakan, telah ada sejumlah Muslim di wilayah itu sejak awal abad ke-16. Zaman keemasan Kerajaan Banjar terjadi pada abad ke-17 hingga abad ke-18. Raden Samudra merupakan Raja pertama yang beragama Islam di Kesultanan Banjar, dengan gelar Sultan Suriansyah.
Dalam menyebarkan agama Islam, di Kalimantan selatan, tidak lepas dari peran para ulama. Ulama yang berperan dalam penyebaran agama Islam dikalimantan selatan yaitu Muhammad ‘Arsyad Al-Banjari dan Muhammad Al-Banjari.
Kerajaan Banjar mengalami keruntuhan saat kerajaan Banjar jatuh ketangan belanda pada tahun 1905, yang pada saat itu dipimpin oleh Sultan Muhammad Seman.
Daftar pustaka
Azra, Azyumardi, renaisan islam asia tenggara : sejarah wacana dan kekuasaan, Bandung: Remaja Rosda, 1999.
Azra, Azyumardi., “jaringan ulama timur tenggah dan kepulauan Nusantara abad XVII & XVIII”. Kencana Prenada Media Group, Jakarta. 2007
Badri Yatim, Sejarah Peradapan Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003
Endang Saifuddin Anshari, Wawasan Islam Pokok-Pokok Pikiran Tentang Paradigma Dan Sistem Islam, (Jakarta; gema insane,2004).
B – BYTE, Ensiklopedia Nasional Indonesia, (Jakarta: PT.Delata Pamungkas, 2004)
Karel A. Steenbrink, Beberapa Aspek Tentang Islam di Indonesia Abad Ke-19, Jakarta; bulan bintang, 1984.
“Muhammad Nafis Al-Banjari’, dalam Ensiklopedi Islam di Indonesia, Jakarta : Departemen Agama, 1987/8,II.
Dr. Helmiati, M.Ag, “Dinamika Islam Asia Tenggara”, Suska Press, Pekanbaru. 2008
http://id.wikipedia.org/wiki/Kerajaan_Banjar
http://noenkcahyana.blogspot.com/2010/11/sufi-dan-ilmu-tasawuf.html
http://www.docstoc.com/docs/21549584/Proses-Islamisasi-dan-Perkembangan-Islam-di-Indonesia---artikel,
[1] Endang Saifuddin Anshari, Wawasan Islam Pokok-Pokok Pikiran Tentang Paradigm Dan Sistem Islam, (Jakarta; gema insane,2004), hlm. 197
[2] lihat http://id.wikipedia.org/wiki/Kalimantan. borneo yang berasal dari nama kesultanan Brunai -- adalah nama yang dipakai oleh kolonial Inggris dan Belanda untuk menyebut pulau ini secara keseluruhan, sedangkan Kalimantan adalah nama yang digunakan oleh penduduk kawasan timur pulau ini yang sekarang termasuk wilayah Indonesia. Wilayah utara pulau ini (Sabah, Brunei, Sarawak) dahulu dalam bahasa Indonesia disebut dengan Kalimantan Utara, tetapi dalam pengertian sekarang Kalimantan Utara adalah Kalimantan Timur bagian utara.Dalam arti luas Kalimantan" meliputi seluruh pulau yang juga disebut dengan Borneo, sedangkan dalam arti sempit Kalimantan hanya mengacu pada wilayah Indonesia.
[3] Dalam hikayat raja-raja pasai di ceritakan bahwa raja mereka Merah Silu adalah orang pertama yang memeluk agama islam di kerajaan itu. Begitu iya diislamkan oleh syeh ismail, iya merubah namanya menjadi sultan malik Al Saleh, dan kerajaannya di sebut kesultanan. Hikayat raja-raja pasai, di sunting dan di terjemahkan A.H.Hill, (singapure:1991), hlm, 57
[4] Dr. Helmiati, M.Ag, Dinamika Islam Asia Tenggara, hlm.46. pada halaman tersebut mengatakan kerajaan demak adalah kerajaan islam pertama di Jawa. Sebelumnya, Demak merupakan daerah vassal majapahit yang dipercayakan Raja Majapahit kepada anaknya, Raden Patah. Raden Patah sendiri kemudian menjadi raja pertama kesutanan Demak. Kesultanan demak lambat laun menjadi pusat perkembangan agama islam yang diramaikan oleh para Wali. Merekalah yang memimpin penyebaran agama islam di seluruh jawa, yang di kenal dengan istilah “WaliSongo”.
[5] Abdul Rahman Haji Abdullah, Sejarah dan Tamadun Islam, (Selangor Darul Ehsan: Pustaka Ilmi, 2002). Hlm 360.
[6] Azyumardi Azra, Edisi Revisi Jaringan Ulama Timur Tengah Dan Kepulauan Nusantara Abad Ke-17 Dan 18, (Jakarta: kencana, 2007), hlm 314.
[7] Abdul Rahman Haji Abdullah, Sejarah dan Tamadun Islam, (Selangor Darul Ehsan: Pustaka Ilmi, 2002). Hlm 361.
[8] Lihat : http://id.wikipedia.org/wiki/Kerajaan_Negara_Daha. Kerajaan Negara Dipa adalah kerajaan yang berada di pedalaman Kalimantan Selatan. Kerajaan ini adalah pendahulu Kerajaan Negara Daha. Kerajaan Negara Daha terbentuk karena perpindahan ibukota kerajaan dari Amuntai (ibukota Negara-Dipa di hulu) ke Muhara Hulak (di hilir). Sejak masa pemerintahan Lambung Mangkurat wilayahnya terbentang dari Tanjung Silat sampai Tanjung Puting. Kerajaan Negara Daha adalah sebuah kerajaan Hindu (Syiwa-Buddha)yang pernah berdiri di Kalimantan Selatan sejaman dengan kerajaan Islam Giri Kedaton. Kerajaan Negara Dipa merupakan pendahulu Kesultanan Banjar.
[9] Lihat, http://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Dayak. Istilah "Dayak" paling umum digunakan untuk menyebut orang-orang asli non-Muslim, non-Melayu yang tinggal di pulau itu. Ini terutama berlaku di Malaysia, karena di Indonesia ada suku-suku Dayak yang Muslim namun tetap termasuk kategori Dayak. Terdapat beragam penjelasan tentang etimologi istilah ini. Menurut Lindblad, kata Dayak berasal dari kata daya dari bahasa Kenyah, yang berarti hulu [sungai] atau pedalaman. King, lebih jauh menduga-duga bahwa Dayak mungkin juga berasal dari kata aja, sebuah kata dari bahasa Melayu yang berarti asli atau pribumi. Dia juga yakin bahwa kata itu mungkin berasal dari sebuah istilah dari bahasa Jawa Tengah yang berarti perilaku yang tak sesuai atau yang tak pada tempatnya.
[10] Badri Yatim, Sejarah Peradapan Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003),hlm.219.
[11] Badri Yatim, Sejarah Peradapan Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003),hlm.220.
[12] lihat, Sejarah daerah Kalimantan Selatan, Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah, Pusat Penelitian Sejarah dan Budaya, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1978. Sultan Suryanullah atau Sultan Suriansyah atau Sultan Suria Angsa[ adalah Raja Banjarmasin pertama yang memeluk Islam. Ia memerintah tahun 1520-1540, dan bergelar Sultan di Kesultanan Banjar. Setelah mangkat Sultan ini mendapat gelar anumerta Panembahan Batu Habang atau Susuhunan Batu Habang, yang dinamakan berdasarkan warna merah (habang) pada batu yang menutupi makamnya di Komplek Makam Sultan Suriansyah di kecamatan Banjarmasin Utara, Banjarmasin, Kalimantan Selatan. Nama kecilnya adalah Raden Samudera kemudian ketika diangkat menjadi raja di Banjarmasin oleh para patih, namanya menjadi Pangeran Samudera atau Pangeran Jaya Samudera. Kemudian memakai gelar Sultan Suriansyah, dari kata surya (matahari) dan syah (raja) yang disesuaikan dengan gelar dari Raden Putra (Rahadyan Putra) yaitu Suryanata (nata = raja) seorang pendiri dinasti di zaman kerajaan Hindu sebelumnya. Selain itu gelar lainnya yang dipakai adalah Suryanullah (= matahari Allah), selanjutnya sultan-sultan Banjar berikutnya memakai kata Allah pada nama belakangnya, sedangkan nama belakang syah tidak pernah digunakan lagi oleh penerusnya.
[13] Badri Yatim, sejarah peradapan islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003),hlm.220.
[14] Lihat : http://id.wikipedia.org/wiki/Sungai_Barito/sungai-martapura, Sungai Barito atau sungai Banjar Besar adalah wilayah di sepanjang daerah aliran sungai (DAS) Barito. Nama Barito diambil berdasarkan nama daerah Barito yang berada di hulu termasuk wilayah provinsi Kalimantan Tengah, tetapi sering dipakai untuk menamakan seluruh daerah aliran sungai ini hingga ke muaranya pada Laut Jawa di Kalimantan Selatan yang dinamakan Muara Banjar/Kuala B anjar. Sendimentasi atau pendangkalan di sungai Barito semakin parah akibat semakin meluasnya alih fungsi lahan dan berkurangnya tutupan lahan di Kalimatan Selatan dan Kalimantan Tengah. Sungai Martapura atau Sungai Banjar Kecil adalah anak sungai Barito yang muaranya terletak di kota Banjarmasin dan di hulunya terdapat kota Martapura ibukota Kabupaten Banjar, Kalimantan Selatan. Nama sungai ini diambil dari nama kota Martapura, yang terletak di sebelah hulu kota Banjarmasin. Nama Martapura diberikan oleh raja Banjar ke-4 Sultan Mustain Billah sebagai ibukota yang baru didirikan kira-kira pada tahun 1630 setelah dipindah dari Banjarmasin. Nama kuno sungai Martapura adalah sungai Kayutangi. Nama lainnya yang dahulu digunakan adalah Sungai Tatas, mengacu kepada delta Pulau Tatas, daerah yang pada 13 Agustus 1787 menjadi milik VOC-Belanda (kotta-Blanda) dan sekarang merupakan pusat kota Banjarmasin modern. Nama lain kota Banjarmasin adalah kota Tatas.
[15] Badri Yatim, sejarah peradapan islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003),hlm.220.
[16] Azyumardi Azra, edisi revisi jaringa ulama timur tengah dan kepulaun nusantara abad ke-17 dan 18, (Jakarta :kencana, 2007), hlm.315
[17] Lihat; http://id.wikipedia.org/wiki/Puruk_Cahu, Puruk Cahu adalah ibukota kabupaten Murung Raya, Kalimantan Tengah, Indonesia. Secara administratif Puruk Cahu terletak di kecamatan Murung. Kota Puruk Cahu juga dilintasi oleh Sungai Barito.
[18] B – BYTE, Ensiklopedia Nasional Indonesia, (Jakarta: PT.Delata Pamungkas, 2004), hlm.143.
[19] Azyumardi Azra, Edisi Revisi Jaringan Ulama Timur Tengah Dan Kepulauan Nusantara Abad Ke-17 Dan 18, (Jakarta: kencana, 2007), hlm. 320
[20] Untuk biografi lengkap Muhammad ‘Arsyad, lihat,zamzam, syekh Muhammad ‘arsyad; jusuf halide, ulama besa, Kalimantan : syech Muhammad arsjad al-banjari, martapura:jasan Al-Banjari, 1968; Tamar djaja, “sjeich M.Arsjad Bandjar”, dalam pusaka Indonesia, Djakarta: Bulan Bintang, 1965, 309-17; shagir Abdullah, syekh muhd, ‘arsyad Al-Banjari, Matahari islam, Pontianak: Al-Fathanah, 1983; abu daudi, maulana syekh moh ‘arsyad al-banjaripelopor dawah islam & kalimantan selatan”, mimbar ulama, 6 (1976) 60-79).
[21] Karel A. Steenbrink, beberapa aspek tentang islam di Indonesia abad ke-19, (Jakarta; bulan bintang, 1984), hlm. 92
[22] Karel A. Steenbrink, beberapa aspek tentang islam di Indonesia abad ke-19, (Jakarta; bulan bintang, 1984), hlm. 92
[23] K. steenbirk, “syekh Muhammad ‘Arsyad Al-Banjari: 1710-1812, tokoh fikih dan tasawuf”. Dalam karyanya beberapa aspek tentang islam di Indonesia abad ke 19, Jakarta: bulan bintang, 1984,91,96
[24] Dikutip dari Zamzam, syekh Muhammad ‘Arsyad, 6;Bandingkan dengan Steenbrink, “Syekh Muhammad ‘Arsyad; 92.
[25] B – BYTE, Ensiklopedia Nasional Indonesia, (Jakarta: PT.Delata Pamungkas, 2004),
[26] Dikutip dari Halide, Ulama Besar, 18; zamzami, Syekh Muhammad ‘Arsyad, 10-11
[27] Lihat, Al-Baythar, Hilyat Al-Basyar, 11, 852; Abdullah, Syekh Abdush shamad, 35, 46.
[28] Muhammad Nafis” Ensiklopedia Islam, II, 616; Abdullah, “syekh Muhammad Nafis”, 108
[29] Abdullah, “syekh Muhammad Nafis”. 110.
[30] B – BYTE, Ensiklopedia Nasional Indonesia, (Jakarta: PT.Delata Pamungkas, 2004), hlm.141.
0 komentar:
Posting Komentar