About

budaya

Pages

This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Senin, 15 Agustus 2011

hubungan ilmu tasahuf dengan ilmu kalam

A.    Ilmu dalam pandangan kaum sufi
Dalam tradisi ilmu islam, secara garis besar dikenal dua macam ilmu yaitu: ilm al-muktasababdan ilm ladunni. Yang pertama diperoleh lewat proses pembelajaran, sedangkan yang kedua tidak melalui proses tersebut. Ilmu yang kedua ini adalah anugrah atau pemberian dari Allah yang masuk kedalam (diperoleh) hati karena telah terbukannya pintu ma’rifah debagai sebuah dari kebersihan hati dan kedekatan dengannya. Ilmu jenis ini merupakan kebanggaan bagi para kaum sufi.
Karena sikap mereka lebih cendrung kepada ilmu ladunni, mereka diduga tidak menaruh perhatian yang besar kepada upaya menuntut ilmu dan mereka diduga juga tidak menghargai keberadaannya (ilm al-muktasab). Persepsi ini didasarkan kepada ungkapan-ungkapan sebagian besar guru sufi seumpamanya Abu yazid busthami yang mengkritik para ahli hadis. “ mereka (para ahli hadis) mengambil ilmu mati dari orang mati, sedangkan kita mengambil ilmu hidup dari yang maha hidup dan tidak pernah mati”. Para sufi dikatakan telah mencela ulama-ulama non sufi dengan mengatakan bahwa bersibuk diri dengan ilmu adalah kebatilan.
            Bagaimanapun, dalam hal ini terjadi polemik. Ibn al-jauzi, meskipun pernah mengkritik kaum sufi, misalnya, mengakui bahwa ulama-ulama sufi terkemuka adalah orang-orang yang ahli didalam berbagai didiplin ilmu agama seperti : Al-qur’an, tafsir, hadis dan fiqh. Menurutnya, yang melakukan pelarangan atau pencelaan terhadap aktifitas menuntut ilmu (hanya) dilakukan oleh sekelompok dari kaum sufi.
            Sejumlah tokoh sufi yang sangat luas pengetahuannya adalah imam al-ghazali dengan jumlah dan wawasan karya tulisnya yang sangat luas. Ibn ‘Arabi dengan penguasaan intelektual dan kebudayaan yang luas dibidang mazhab dan filsafat, baik islam maupun non-islam.
            Dengan demikian, para sufi sebenarnya sangat menghargai ilm al-muktasab (yang diusahakan melalui proses belajar). Kalaupun ada yang tidak menghargai atau bahkan mengecamilmu, maka itu hanya dilakukan ooleh kelompok-kelompok tertentu. Ini mungkin diantaranya karena penghargaan mereka yang sangat besar kepada ilmu ladunni dan kecaman mereka terhadap akal. Ada ungkapan para sufi yang menegaskan bahwa awal ibadah kepada Allah adalah ilmu. Apabila kamu berilmu maka kamu bermarifah dan apabila kamu bermarifah maka kamu dapat beribadah, namun ibadah dan marifah tidak akan berati tanpa ilmu.
.
B.      Hubungan Ilmu Tasawuf dengan Ilmu Kalam

Tasawuf sebagai sebuah ilmu, ilmu kalam, ilmu filsafat, fiqh dan ilmu jiwa adalah sebagian disiplin-disiplin ilmu keislaman yang mempunyai hubungan antara satu dengan yang lainnya. Keterhubungan ini, secara umum karena masing-masing dari disiplin ilmu ini didasarkan kepada atau diilhami oleh dua sumber utama dalam islam yaitu Alqur’an dan Alhadist. Bagaimanapun, untuk melihat hal ini secara lebih spesifik, berikut ini akan diuraikan secara ringkas hubungan-hubungan tersebut.
            Ilmu tasawuf dan ilmu kalam adalah dua disiplin ilmu yang memiliki keterkaitan antara satu dengan yang lainnya. Agar terlihathubungan diantara keduanya, terebih dahulu harus diketahui apa yang dimaksud dengan ilmu kalam dan ilmu tasawuf itu sendiri,
            Harun Nasution mengatakan bahwa ilmu yang membahas dasar-dasar suatu agama disebut teologi. Teologi islam disebut juga ‘ilm al-tauhid, yaitu iilmu yang mempelajari sifat-sifat dimana salah satu sifat terpenting-Nya adalah Esa. Teologi islam disebut juga ‘ilm al-kalam, yaitu ilmu yang mempelajari sabda tuhan (al-qur’an) yang pernah menimbulkan pertentangan dikalangan umat islam, tentang apakah sabda tersebut qadim atau baharu. Dengan demikian ilmu kalam identik dengan ilmu tauhid dan teologi islam.
            Dari penjelasan diatas jelas bahwa ilmu kalam adalah ilmu yang mempelajari tentang Allah, sifat-sifat dan kalamnya. Bahasan tentang sifat-sifat dan kalam Allah ini mengarah kepada perbincangan mendalam dengan mengunakan dalil-dalil, baik aqliyah maupun naqliyah.
Ilmu Kalam merupakan disiplin ilmu keislaman yang banyak mengedepankan pembicaraan tentang persoalan-persoalan kalam Tuhan. Persoalan kalam ini biasanya mengarah pada perbincangan yang mendalam dengan dasar-dasar argumentasi,  baik rasional (aqliyah) maupun naqliyah. Argumentasi rasional yang dimaksudkan adalah landasan pemahaman yang cenderung menggunakan metode berpikir filosofis. Adapun argumentasi naqliyah biasanya bertendensi pada menempatkan diri pada kedua pendekatan ini (aqli dan naqli), tetapi dengan metode-metode argumentasi yang dialektik. Jika pembicaraan kalam Tuhan ini berkisar pada keyakinan yang harus dipegang oleh umat Islam, ilmu ini lebih spesifikasi mengambil bentuk sendiri dengan istilah ilmu tyauhid atau ilmu ‘aqa’id.
Pembicaraan materi yang tercakup dalam ilmu kalam terkesan tidak menyentuh dzaug (rasa rohaniah). Sebagai contoh, ilmu tauhid menerangkan bahwa Allah bersifat Sama’ (mendengar), bashar (melihat), Kalam (berbicara), Iradah (bekemauan), Qudrah (kuasa), Hayat (hidup), dan sebagainya. Namun, ilmu kalam atau ilmu tauhid tidak menjelaskan bagaimanakah seorang hamba dapat merasakan perasaan bahwa Allah mendengar dan melihat; Bagaimana pula perasaan hati seorang ketika membaca Al-Qur’an; dan bagaimana seseorang merasa bahwa segala sesuatu yang tercipta merupakan pengaruh dari Qudrah (kekuasaan) Allah?
Pertanyaan-pertanyaan di atas sulit terjawab bila hanya melandaskan diri pada ilmu tauhid atau ilmu kalam. Ilmu yang membicarakan penghayatan samai pada penanaman kejiwaan manusia adalah Ilmu Tasawuf. Disiplin inilah yang membahasa bagaimana merasakan nilai-nilai akidah dengan memperhatikan bahwa persoalan tadzwwuq (bagaimana merasakan) tidak saja termasuk dalam lingkup hal yang sunah atau dianjurkan tetapi termasuk hal yang diwajibkan. As-Sunnah memberikan perhatian yang begitu besar terhadap masalah tadzawwuq sebagaimana disebutkan dalam hadits Rasul yang dikutip Said Hawwa: “Yang merasakan kenikmatan iman adalah orang yang rida kepada Allah sebagai Tuhannya, rida kepada Islam sebagai agamanya, dan rida kepada Muhammad sebagai Rasul utusannya. Dalam hadis lain, Rasulullah bersabda, “Ada tiga operkara yang menyebabkan seorang dapat merasakan lezatnya iman, yaitu orang yang mencintai Allah dan Rasulnya lebih dari yang lain; orang yang mencintai hamba karena Allah dan orang yang takut kembali kepada kekufuran seperti ketakutannya untuk dimasukkan ke dalam api neraka.
Pada Ilmu Kalam ditemukan pembahasan iman dan definisinya, kekufuran dan manifestasinya, serta ditemukan pembahasan jalan atau metode praktis untuk merasakan keyakinan dan ketenraman, serta upaya untuk menyelamatkan diri dari kemunafikan. Semua itu tidak cukup hanya diketahui batasan-batasannya oleh seseorang. Hal ini karena ada seseorang yang sudah mengetahui batasan-batasan kemunafikan. Tetapi tetap saja melaksanakannya. Allah berfirman.

Artinya:
Orang-orang Arab Badui itu berkata: "Kami telah beriman." Katakanlah: "Kamu belum beriman, tapi katakanlah 'kami telah tunduk', karena iman itu belum masuk ke dalam hatimu; dan jika kamu taat kepada Allah dan Rasul-Nya, Dia tidak akan mengurangi sedikitpun pahala amalanmu; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang
Ath-Thabarani, dalam Kitab Al-Kabir, meriwayatkan hadis sahih dari Ibnu Umar r.a. Ia berkata:
            “Pada suatu kesempatan saya bersam Nabi, Tak lama kemudian beliau didatangi Hurmalah bin Zaid. Ia duduk di hadapan Nagi seraya berkata, Wahai Rasulullah, iman itu di sini (sambil mengisyaratkan pada lisannya) dan kemunafikan itu di sini (seraya menunjuk dadanya)). Kami tidak pernah mengingat Allah, kecuali sedikit. Rasulullah mendiamkannya, maka Hurmalah mengulangi ucapannya tadi, lalu Rasulullah SAW, memegang Hurmalah seraya berdo’a; Ya Allah jadikanlah untuknya lisan yang jujur dan hati yang bersyukur, kemudian jadikan dia mencintai orang yang cinta kepadaku, dan jadikanlah baik semua urusannya. Kemudian Hurmalah berkata, Wahai Rasulullah aku mempunyai banyak teman yang unafik. Dan aku adalah pemimpin mereka, tidakkah aku akan menjawab, “Siapa yang datang kepada kami, kami akan mengampuninya sebagaimana kami mengampunimu, dan siapa yang berketetapan hati untuk melaksanakan agamanya maka Allah lebih utama baginya, janganlah menembus tirai (hati) seseorang.
Dalam kaitannya dengan ilmu kalam, ilmu tasawuf berfungsi sebagai pemberi wawasan spiritual dalam pemahaman kalam. Penghayatan yang mendalam melalui hati (dzauq dan wijdan) terhadap ilmu tauhid atau ilmu kalam menjadikan ilmu tasawuf lebih terhayati atau teraplikasikan dalam perilaku. Dengan demikian, ilmu tasawuf merupakan penyempurnaan ilmu tauhid jika dilihat dari sudut pandang bahwa ilmu tasawuf merupakan sisi terapan rohaniyah dari ilmu tauhid.
Ilmu kalam pun berfungsi sebagai pengendali ilmu tasawuf. Oleh karena itu, jika timbul suatu aliran yang bertentangan dengan akidah, atau lahir suatu kepercayaan baru yang bertentangan dengan Al-Qur’an dan As-Sunah, hal itu merupakan penyimpangan atau penyelewengan. Jika bertentangan atau tidak pernah diriwayatkan dalam Al-Qur’an dan Al-Sunnah, atau belum pernah diriwayatkan oleh ulama-ulama salaf, maka hal itu harus ditolak.
Selain itu, ilmu tasawuf mempunyai fungsi sebagai pemberi kesadaan rohaniyah dalam perdebatan kalam,. Sebagaimana disebutkan bahwa ilmu kalam dalam dunia Islam cenderung menjadi sebuah ilmu yang mengandung muatan rasional dan muatan naqliyah. Jika tidak diimbangi oleh kesadaran rohaniay,. Ilmu kalam dapat bergerak ke arah yang lebih liberal dan bebas. Disinilah ilmu tasawuf berfungsi memberi muatan rohaniah sehingga ilmu kalam tidak dikesani sebagai dialektika keislaman belaka, yang kering dari kesadaran penghayatan atau sentuhan secara qalbiyah (hati).
Bagaimanapun amalan-amalan tasawuf mempunyai pengaruh yang besar dalam ketauhidan. Jika rasa sabar tidak ada, misalnya, muncullah kekufuran. Jika rasa syukur sedikit, lahirlah suatu bentuk kegelapan sebagai reaksi.
Begitu juga ilmu tauhid dapat memberi kontribusi kepada tasawuf. Sebagai contoh, jika cahaya tauhid telah lenyap, akan timbullah penyakit –penyakit qalbu, seperti ujub, congkak, riya’, dengki, hasud, dan sombong. Andaikata manusia sadar bahwa Allah-lah yang memberi, niscaya rasa hasud dan dengki akan sirna. Kalau saja dia tahu kedudukan penghambaan diri, niscaya tidak memiliki rasa sombong dan membanggakan diri. Kalau saja manusia sadar bahwa dia betul = betul hamba Allah, niscaya tidak akan ada perebutan kekuasaan. Kalau saja manusia sadar bahwa Allah-lah pencipta segala sesuatu, niscaya tidak akan ada sifat ujub dan riya’. Dari sinilah dapat dilihat bahwa ilmu tauhid merupakan jenjang pertama dalam pendakian menuju Allah (pendakian para kaum sufi).
Untuk melihat lebih lanjut hubungan antara ilmu tasawuf dan ilmu tauhid, alangkah baiknya bila kita memperhatikan paparan Al-Ghazali. Dalam bukunya yang berjudu Asma – Al-Husna, Al-Ghazali menjelaskan dengan baik mengenai persoalan tauhid kepada Allah, terutama berkenaan dengan baik mengenai persoalan tauhid kepada Allah, terutama dengan nama-nama Allah yang merupakan materi pokok ilmu tauhid.. nama Tuhan Ar-Rahman dan Al-Rahim, pada aplikasi rohaniahya merupakan sifat yang harusd iteladani. Jika sifat Ar-Rahman ddiaplikasikan, seseorang akan memandang orang yang durhaka dengan kelembutan bukan kekerasan; melihat orang dengan mata rahim, bukan dengan mata yang menghina, bahkan ia mencurahkan ke-rahim-annya kepada orang yang durhaka agar orang tersebut dapat diselamatkan,. Jika melihat orang lain menderita atau sakit, orang yang rahim akan segera menolongnya. Nama lain Allah yang patut diteladani adalah Al-Dudus (Mahasuci). Seorang hamba akan suci kalau berhasil membebaskan pengetahuan dan kehendaknya dari khayalan dan segala persepsi yang dimiliki binatang.
Dengan ilmu tasawuf, semua persoalan yang berada dalam kajian ilmu tauhid terasa lebih bermakna, tidak kaku, tetapi akan dinamis dan aplikatif.

C.     Keterkaitan Ilmu Tasawuf dengan Filsafat
Ilmu tasawuf berkembang didunia Islam tidak dapat dinafikan dari sumbangan pemikiran kefilsafatan. Ini dapat dilihat, misalnya, dalam kajian-kajian tasawuf yang berbicara tentang jiwa. Secara jujur harus diakui bahwa terminologi jiwa dan roh itu sendiri sesungguhnya terminologi yang banyak dikaji dalam pemikiran-pemikiran filsafat. Sederetan intelektual muslim ternama juga banyak mengkaji tentang jiwa dan roh.
Kajian-kajian mereka tentang jiwa dalam pendekatan kefilsafatan ternyata telah banyak memberikan sumbangan yang sangat berharga bagi kesempurnaan kajian tasawuf dalam dunia Islam. Pemahaman tentang jiwa dan roh itu sendiri menjadi hal yang esensial dalam tasawuf. Kajian –kajian kefilsafatan tentang jiwa dan roh kemudian banyak dikembangkan dalam tasawuf. Namun, perlu juga dicatat bahwa istilah yang lebih banyak dikembangkan dalam tasawuf adalah istilah qalb (hati). Istilah qalb ini memang lebih spesifik dikembangkan dalam tasawuf. Namun, tidak berarti bahwa istilah qalb tidak berpengaruh dengan roh dan jiwa.
Menurut sebagian ahli tasawuf, an-nafs (jiwa) adalah roh setelah bersatu dengan jasad. Pernyatuan roh dan jasad melahirkan pengaruh yang ditimbulkan oleh jasad terhadap roh. Pengaruh-pengaruh ini akhirnya memunculkan kebutuhan-kebutuhan jasad yang dibangun roh. Jika jasad kerja pengekangan nafsu, sedangkan kalbu (qalb,hati) tetap sehat, tuntutan-tuntutan jiwa terus berkembang sedangkan jasad menjadi binasa karena melayani jiwa.

referensi
Jamil,2004. Cakrawala tasawuf sejarah, pemikiran dan kontekstualitas. Cipayung ciputat : Gaung Pustaka Press.
www. Manipintar.co cc/2009/03/hubungan tasawuf-ilmu kalam. html

PSIKOLOGI SOSIAL DAN KEBUDAYAAN

A. Pendahuluan
 
Pada awal perkembangannya, ilmu psikologi tidak menaruh perhatian terhadap budaya. Baru sesudah tahun 50-an budaya memperoleh perhatian. Namun baru pada tahun 70-an ke atas budaya benar-benar memperoleh perhatian. Pada saat ini diyakini bahwa budaya memainkan peranan penting dalam aspek psikologis manusia. Oleh karena itu pengembangan ilmu psikologi yang mengabaikan faktor budaya dipertanyakan kebermaknaannya. Misalnya, menegaskan bahwa psikologi sosial hanya dapat bermakna apabila dilakukan lintas budaya. Hal tersebut juga berlaku bagi cabang-cabang ilmu psikologi lainnya.
Berbicara mengenai kebudayaan tak lepas dari peranan teori identitas sosial, dimana manusia adalah mahkluk yang bertanya akan dirinya. Makhluk yang harus mencari identitas dirinya, makhluk dengan kesadaran dimanakah seharusnya dia berada, keadaan tersebut tidak terjadi pada makhluk lainnya hewan, tumbuhan, dan lingkungan sekitarnya.
Identitas sosial yang dimaksud adalah bagaimana suatu kelompok atau daerah tertentu mempertahankan kebudayaan mereka dan membentuk konsep diri yang positif. Identitas sosial juga menghasilkan representasi sosial yang keluar dari individu-individu yang berkumpul serta memiliki pandangan dan emosi yang sama. Teori identitas sosial melihat bahwa suatu identitas sosial selalu mengklarifikasikan dirinya melalui perbandingan, tapi secara umumnya, perbandigannya adalah antara in-groups dan out-groups. In-groups biasanya secara stereotype positif sifatnya, selalu lebih baik dibandingkan out-groups.
B.    Psikologi Sosial
  Psikologi sosial adalah suatu studi tentang hubungan antara manusia dan kelompok. Psikologi sosial merupakan cabang ilmu dari psikologi yang baru muncul dan intensif dipelajari pada tahun 1930. Secara sederhana objek material dari psikologi sosial adalah fakta -fakta, gejala-gejala serta kejadian-kejadian dalam kehidupan sosial manusia. Sekilas ternyata objek psikologi sosial mirip dengan ilmu sosiolgi dan bila digambarkan sebenarnya psikologi sosial adalah merupakan pertemuan irisan antara ilmu psikologi dan ilmu sosiologi.

C.     Kebudayaan
              Budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh sebuah kelompok orang dan diwariskan dari generasi ke generasi. Budaya terbentuk dari banyak unsur yang rumit, termasuk sistem agama dan politik, adat istiadat, bahasa, perkakas, pakaian, bangunan, dan karya seni. Bahasa, sebagaimana juga budaya, merupakan bagian tak terpisahkan dari diri manusia sehingga banyak orang cenderung menganggapnya diwariskan secara genetis. Ketika seseorang berusaha berkomunikasi dengan orang-orang yang berbada budaya dan menyesuaikan perbedaan-perbedaannya, membuktikan bahwa budaya itu dipelajari.
              Kebudayaan sangat erat hubungannya dengan masyarakat. Melville J. Herskovits dan Bronislaw Malinowski mengemukakan bahwa segala sesuatu yang terdapat dalam masyarakat ditentukan oleh kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat itu sendiri. Istilah untuk pendapat itu adalah Cultural-Determinism.

D. Teori Identitas Sosial
  Dalam teori identitas sosial, seorang individu tidaklah dianggap sebagai individu secara mutlak satu dalam kehidupannya. Individu merupakan bagian dari kelompok tertentu baik disadari maupun tidak disadari. Konsep identitas sosial adalah bagaimana seseorang itu secara sosial dapat didefinisikan (Verkuyten, 2005).
  Dalam hal identitas, Identitas itu ada yang terberi, tetapi ada juga yang memang berasal dari proses pencarian. Identitas yang terberi cantohnya saja dalam hal identitas laki-laki dan perempuan. Identitas andi sebagai laki-laki adalah identitas yang sudah terberi sejak lahir, mau tidak mau dia harus menerima itu. Namun demikian, dengan kemajuan teknologi yang ada, identitas yang terberipun bisa diganti dengan identitas yang kita inginkan, misalnya saja yang tadinya andi memiliki identitas laki-laki, namun dia memutuskan untuk merubah alat kelaminnya menjadi perempuan, sehingga identitas andi sekarang adalah perempuan. Penjelasan tersebut sekedar memberikan contoh saja kalau terkadang kitapun tak berhak memilih identitas kita sendiri. Karena manusia sebagai individu tidak bisa melepas keberadaannya dalam masyarakat maka status identitas kita pun bisa saja datang dari orang lain. Ini bisa timbul karena ketika identitas terlahir, lahir pulalah perbedaan yang juga berupaya memberi identitas kepada orang di luar dirinya.
Selain beruasaha untuk mengenal identitas sendiri, manusia pun berusaha untuk memberikan identitas pada orang lain. Sebuah identitas hadir karena manusia butuh untuk mengkategorisasikan sesuatu. Dengan begitu, identitas sosial juga melibatkan pula ketegori dan menetapkan seseorang ke dalam struktur sosial atau wilayah sosial tertentu yang besar dan lebih lama ketimbang situasi partikular lainnya.
Jelas saja kategorisasi dan penetapan terhadap posisi seseorang sangatlah dibutuhkan, kalau tidak, bagaimana dia bisa membedakan yang satu dengan yang lainnya. Ketika kategorisasi terbentuk, perbedaan tentunya tidak dapat dihindari (Tajfel, 1972). Identitas sosial menjadi relevan ketika satu dari kategori melibatkan juga satu diri yang ikut berpartisipasi terhadap dorongan pada diri lain yang berasal dari kelompok yang sama (Abrams & Hoggs, 1990). Misalnya saja dorongan semangat untuk atlit olahraga yang berasal dari daerah yang sama. Dorongan pemberian semangat tersebut terjadi karena sang atlit membela kelompok yang mereka miliki bersama.
Normalnya, suatu identitas sosial biasanya lebih menghasilkan perasaan yang positif. Hal tersebut terjadi karena kita menggambarkan kelompok sendiri di identifikasikan memiliki norma yang baik. Identitas sosial yang melekat pada seseorang merupakan identitas posistif yang ingin dipertahankan olehnya. Oleh karena itu, individu yang memiliki identitas sosial positif, maka baik wacana maupun tindakannya akan sejalan dengan norma kelompoknya. Dan, jika memang individu tersebut diidentifikasikan dalam suatu kelompok, maka wacana dan tindakannya harus sesuai dengan wacana dan tindakan kelompoknya.
Konsep identitas sosial sebenarnya berangkat dari asumsi umum:
1.      Setiap individu selalu berusaha untuk merawat atau meninggikan self-esteemnya: mereka berusaha untuk membentuk konsep diri yang positif.
2.      Kelompok atau kategori sosial dan anggota dari mereka berasosiasi terhadap konotasi nilai positif atau negatif. Karenanya, identitas sosial mungkin positif atau negatif tergantung evaluasi (yang mengacu pada konsensus sosial, bahkan pada lintas kelompok) kelompok tersebut yang memberikan kontribusi pada identitas sosial individu.
3.       Evaluasi dari salah satu kelompok adalah berusaha mengdeterminasikan dan juga sebagai bahan acuan pada kelompok lain secara spesifik melalui perbandingan sosial dalam bentuk nilai atribut atau karakteristik (Tajfel, 1974, dalam Hogg & Abrams, 2000)
Dari asumsi di atas tersebut, beberapa relasi prinsip teori dapat menghasilkan:
1.      Individu berusaha untuk mencapai atau merawat identitas sosial yang positif
2.      Identitas sosial yang positif ada berdasarkan pada besarnya tingkat perbandingan favorit in-group-out-group; in-group pasti mempersepsikan dirinya secara positif berbeda dari out-group
3.      ketika identitas sosial tidak memuaskan, individu akan berusaha keluar dari kelompok, lalu bergabung pada kelompok yang lebih posisitif atau membuat kelompok mereka lebih bersifat positif.
Identitas sosial sebagai teori tidak bisa lepas dari keinginan individu untuk memperbandingkan dirinya serta kelompoknya dengan yang lain. Perbandingan sosial digambarkan oleh Festinger (1954) sebagai teori di mana bisa membimbing kita untuk membandingkan diri kita dengan yang lain, siapa yang serupa dengan kita dan siapa yang berbeda, siapa yang berada di atas dan siapa yang berada di bawah. Setidaknya ada tiga variabel yang mempengaruhi hubungan pembedaan antar kelompok dalam situasi sosial yang nyata (Tajfel, 1974; Turner, 1975; dalam Hogg & Abrams, 2000). Pertama, individu pasti memiliki internalisasi kelompok mereka sebagai konsep diri mereka: secara subjektif mereka pasti menidentifikasikan kelompok yang relevan. Hal ini tidak cukup dari orang lain saja yang mengidentifikasikan seseorang kalau dari kelompok mana dia berasal. Kedua, situasi sosial akan menciptakan perbandingan sosial yang memungkinkan terjadinya seleksi dan evaluasi atribut relasi yang relevan. Perbedaan kelompok pada tiap-tiap daerah tidak sama secara sikinifikan. Misalnya saja, di Amerika perbedaan kelompok lebih cenderung menonjol pada perbedaan warna kulit, tapi perbedaan warna kulit bukan sesuatu yang menonjol di Hongkong. Ketiga, in-group tidak membandingkan dirinya pada tiap proses kognitif yang ada pada out-group: out-group pastinya dipersepsikan sebagai kelompok perbandingan yang relevan baik dalam kesamaan, kedekatan, dan secara situasional menonjol. Kemudian, Determinasi out-group dihasilkan sebagai perbandingan terhadap determinasi in-group.
Menurut Sarben & Allen (1968), identitas sosial juga berfungsi sebagai pengacu keberadaan posisi seseorang berada di mana dia. Berada di tingkatan mana kita berada, posisi seperti apa saja yang keberadaannya sama dengan kita dan mana juga yang berbeda. Teori identitas sosial melihat bahwa suatu identitas sosial selalu mengklarifikasikan dirinya melalui perbandingan, tapi secara umumnya, perbandigannya adalah antara in-groups dan out-groups. In-groups biasanya secara stereotype positif sifatnya, selalu lebih baik dibandingkan out-groups.

D.    Hubungan Psikologi dan Budaya
Pada awal perkembangannya, ilmu psikologi tidak menaruh perhatian terhadap budaya. Baru sesudah tahun 50-an budaya memperoleh perhatian. Namun baru pada tahun 70-an ke atas budaya benar-benar memperoleh perhatian. Pada saat ini diyakini bahwa budaya memainkan peranan penting dalam aspek psikologis manusia. Oleh karena itu pengembangan ilmu psikologi yang mengabaikan faktor budaya dipertanyakan kebermaknaannya. Triandis (2002) misalnya, menegaskan bahwa psikologi sosial hanya dapat bermakna apabila dilakukan lintas budaya. Hal tersebut juga berlaku bagi cabang-cabang ilmu psikologi lainnya.
Sebenarnya bagaimanakah hubungan antara psikologi dan budaya? Secara sederhana Triandis (1994) membuat kerangka sederhana bagaimana hubungan antara budaya dan perilaku:
Ekologi – budaya – sosialisasi – kepribadian – perilaku
Sementara itu Berry, Segall, Dasen, & Poortinga (1999) mengembangkan sebuah kerangka untuk memahami bagaimana sebuah perilaku dan keadaan psikologis terbentuk dalam keadaan yang berbeda-beda antar budaya. Kondisi ekologi yang terdiri dari lingkungan fisik, kondisi geografis, iklim, serta flora dan fauna, bersama-sama dengan kondisi lingkungan iasr-politi,  adaptasi biologis dan adaptasi iasral merupakan dasar bagi terbentuknya perilaku dan karakter psikologis. Ketiga hal tersebut kemudian akan melahirkan pengaruh ekologi, genetika, transmisi budaya dan pembelajaran budaya, yang bersama-sama akan melahirkan suatu perilaku dan karakter psikologis tertentu.
Ratusan definisi budaya yang ada tidak biasa dianggap yang satu lebih benar daripada yang lainnya. Masing-masing definisi memiliki kekuatannya masing-masing. Oleh karena itu penggunaan definisi budaya semestinya dilihat dari tingkat kegunaannya bagi tujuan yang dikehendaki. Triandis (1994) mencontohkan dengan definisi budaya yang digunakan B.F. Skinner, seorang behavioris, yakni ‘budaya adalah seperangkat aturan penguatan (a set of schedules of reinforcement)’. Definisi tersebut bernilai optimal bagi pendekatan yang dilakukan Skinner.

Studi kasus tentang kebudayaan jawa.
            Dengan konsep identitas sosial diatas maka dapat diambil contoh atau studi kasus tentang pakaian tradisional dari jawa, komonitas masyarakat jawa berusaha merawat identitas sosialnya baik disadari maupun tidak disadari seperti ciri-ciri pakaian tradisional jawa untuk wanita antara lain (1) potongan dibuat sedikit ketat sehingga bentuk tubuh aslinya nampak jelas. (2) mengunakan kain batik yang pemakainnya juga ketat yang mengakibatkan gerak wanitanya terbatas sehingga jalan wanita tersebut sangat pelan. (3) warna yang dipilih untuk bajutidak mencolok, umumnya lebih disukai warna yang remang atau lembut. Hal-hal demikian jauh berbeda dengan pakaian tradisional diluar jawa yang memiliki ciri-ciri antara lain : (1) potongan bajunya dibuat longar sehingga potongan tubuh aslinya kurang tampak jelas, (2) mereka mengenakan kain sarung yang merupakan hasil tenunan sehingga gerak pemakaian lebih gesit, (3) warna kain yang dipilih pada umumnya mencolok, seperti warna kuning, merah, biru dan hijau. Contah baju luar jawa adalah baju kurung, baju lengan panjang, baju bodo dan sarung tenun dari silungkang, palembang, bugis.
            Sedangkan pakaian tradisional pria dari jawa memiliki ciri-ciri seperti mempergunakan blankon sebagai penutup kepala terbuat dari kain batik dan pemakaiannya ketat melekat di kepala, baju dibuat dari kain tebal dan ketat menutup leher, kainnya berupa kain batik (dari jenis kainnya, seseorang dapat dilihat setatus sosialnya) dan keris merupakan bagian dari pakaian yang diselipkan di belakang badan sedangkan pakaian tradisional pria dari luar jawa memiliki ciri-ciri,seperti mempergunakan tutup kepala berupa peci, baju dan celana dari kain yang tipis dan potongannya longgar, senjata merupakan sebagai pelengkap pakaian yang diselipkan didepan (perut).
Dari studi kasus diatas dapat dilihat bahwa setiap daerah memiliki kebudayaan yang merupakan ciri khas daerah tersebut yang harus mereka pertahankan, meskipun ada beberapa budaya mereka misalnya jawa (pakaian wanita yang sengaja dibuat ketat ) yang kurang sesuai dengan norma agama namun mereka (masyarakat jawa) tetap mempertahankan dan berusaha membentuk konsep diri yang positif. 

DAFTAR PUSTAKA
Sedyawati Edi. 2006. Budaya indonesia. Jakarta: PT Raja Grafindo persada
Sarlito, sarwono.2008.Teori-teori psikologi sosial :Rajawali pers

Widyosiswiyio, supartono.2004. ilmu budaya dasar: bogor ghalia indonesia

Wan Fahrul Rozikin