A. Ilmu dalam pandangan kaum sufi
referensi
Jamil,2004. Cakrawala tasawuf sejarah, pemikiran dan kontekstualitas. Cipayung ciputat : Gaung Pustaka Press.
Dalam tradisi ilmu islam, secara garis besar dikenal dua macam ilmu yaitu: ilm al-muktasababdan ilm ladunni. Yang pertama diperoleh lewat proses pembelajaran, sedangkan yang kedua tidak melalui proses tersebut. Ilmu yang kedua ini adalah anugrah atau pemberian dari Allah yang masuk kedalam (diperoleh) hati karena telah terbukannya pintu ma’rifah debagai sebuah dari kebersihan hati dan kedekatan dengannya. Ilmu jenis ini merupakan kebanggaan bagi para kaum sufi.
Karena sikap mereka lebih cendrung kepada ilmu ladunni, mereka diduga tidak menaruh perhatian yang besar kepada upaya menuntut ilmu dan mereka diduga juga tidak menghargai keberadaannya (ilm al-muktasab). Persepsi ini didasarkan kepada ungkapan-ungkapan sebagian besar guru sufi seumpamanya Abu yazid busthami yang mengkritik para ahli hadis. “ mereka (para ahli hadis) mengambil ilmu mati dari orang mati, sedangkan kita mengambil ilmu hidup dari yang maha hidup dan tidak pernah mati”. Para sufi dikatakan telah mencela ulama-ulama non sufi dengan mengatakan bahwa bersibuk diri dengan ilmu adalah kebatilan.
Bagaimanapun, dalam hal ini terjadi polemik. Ibn al-jauzi, meskipun pernah mengkritik kaum sufi, misalnya, mengakui bahwa ulama-ulama sufi terkemuka adalah orang-orang yang ahli didalam berbagai didiplin ilmu agama seperti : Al-qur’an, tafsir, hadis dan fiqh. Menurutnya, yang melakukan pelarangan atau pencelaan terhadap aktifitas menuntut ilmu (hanya) dilakukan oleh sekelompok dari kaum sufi.
Sejumlah tokoh sufi yang sangat luas pengetahuannya adalah imam al-ghazali dengan jumlah dan wawasan karya tulisnya yang sangat luas. Ibn ‘Arabi dengan penguasaan intelektual dan kebudayaan yang luas dibidang mazhab dan filsafat, baik islam maupun non-islam.
Dengan demikian, para sufi sebenarnya sangat menghargai ilm al-muktasab (yang diusahakan melalui proses belajar). Kalaupun ada yang tidak menghargai atau bahkan mengecamilmu, maka itu hanya dilakukan ooleh kelompok-kelompok tertentu. Ini mungkin diantaranya karena penghargaan mereka yang sangat besar kepada ilmu ladunni dan kecaman mereka terhadap akal. Ada ungkapan para sufi yang menegaskan bahwa awal ibadah kepada Allah adalah ilmu. Apabila kamu berilmu maka kamu bermarifah dan apabila kamu bermarifah maka kamu dapat beribadah, namun ibadah dan marifah tidak akan berati tanpa ilmu.
.
B. Hubungan Ilmu Tasawuf dengan Ilmu Kalam
Tasawuf sebagai sebuah ilmu, ilmu kalam, ilmu filsafat, fiqh dan ilmu jiwa adalah sebagian disiplin-disiplin ilmu keislaman yang mempunyai hubungan antara satu dengan yang lainnya. Keterhubungan ini, secara umum karena masing-masing dari disiplin ilmu ini didasarkan kepada atau diilhami oleh dua sumber utama dalam islam yaitu Alqur’an dan Alhadist. Bagaimanapun, untuk melihat hal ini secara lebih spesifik, berikut ini akan diuraikan secara ringkas hubungan-hubungan tersebut.
Ilmu tasawuf dan ilmu kalam adalah dua disiplin ilmu yang memiliki keterkaitan antara satu dengan yang lainnya. Agar terlihathubungan diantara keduanya, terebih dahulu harus diketahui apa yang dimaksud dengan ilmu kalam dan ilmu tasawuf itu sendiri,
Harun Nasution mengatakan bahwa ilmu yang membahas dasar-dasar suatu agama disebut teologi. Teologi islam disebut juga ‘ilm al-tauhid, yaitu iilmu yang mempelajari sifat-sifat dimana salah satu sifat terpenting-Nya adalah Esa. Teologi islam disebut juga ‘ilm al-kalam, yaitu ilmu yang mempelajari sabda tuhan (al-qur’an) yang pernah menimbulkan pertentangan dikalangan umat islam, tentang apakah sabda tersebut qadim atau baharu. Dengan demikian ilmu kalam identik dengan ilmu tauhid dan teologi islam.
Dari penjelasan diatas jelas bahwa ilmu kalam adalah ilmu yang mempelajari tentang Allah, sifat-sifat dan kalamnya. Bahasan tentang sifat-sifat dan kalam Allah ini mengarah kepada perbincangan mendalam dengan mengunakan dalil-dalil, baik aqliyah maupun naqliyah.
Ilmu Kalam merupakan disiplin ilmu keislaman yang banyak mengedepankan pembicaraan tentang persoalan-persoalan kalam Tuhan. Persoalan kalam ini biasanya mengarah pada perbincangan yang mendalam dengan dasar-dasar argumentasi, baik rasional (aqliyah) maupun naqliyah. Argumentasi rasional yang dimaksudkan adalah landasan pemahaman yang cenderung menggunakan metode berpikir filosofis. Adapun argumentasi naqliyah biasanya bertendensi pada menempatkan diri pada kedua pendekatan ini (aqli dan naqli), tetapi dengan metode-metode argumentasi yang dialektik. Jika pembicaraan kalam Tuhan ini berkisar pada keyakinan yang harus dipegang oleh umat Islam, ilmu ini lebih spesifikasi mengambil bentuk sendiri dengan istilah ilmu tyauhid atau ilmu ‘aqa’id.
Pembicaraan materi yang tercakup dalam ilmu kalam terkesan tidak menyentuh dzaug (rasa rohaniah). Sebagai contoh, ilmu tauhid menerangkan bahwa Allah bersifat Sama’ (mendengar), bashar (melihat), Kalam (berbicara), Iradah (bekemauan), Qudrah (kuasa), Hayat (hidup), dan sebagainya. Namun, ilmu kalam atau ilmu tauhid tidak menjelaskan bagaimanakah seorang hamba dapat merasakan perasaan bahwa Allah mendengar dan melihat; Bagaimana pula perasaan hati seorang ketika membaca Al-Qur’an; dan bagaimana seseorang merasa bahwa segala sesuatu yang tercipta merupakan pengaruh dari Qudrah (kekuasaan) Allah?
Pertanyaan-pertanyaan di atas sulit terjawab bila hanya melandaskan diri pada ilmu tauhid atau ilmu kalam. Ilmu yang membicarakan penghayatan samai pada penanaman kejiwaan manusia adalah Ilmu Tasawuf. Disiplin inilah yang membahasa bagaimana merasakan nilai-nilai akidah dengan memperhatikan bahwa persoalan tadzwwuq (bagaimana merasakan) tidak saja termasuk dalam lingkup hal yang sunah atau dianjurkan tetapi termasuk hal yang diwajibkan. As-Sunnah memberikan perhatian yang begitu besar terhadap masalah tadzawwuq sebagaimana disebutkan dalam hadits Rasul yang dikutip Said Hawwa: “Yang merasakan kenikmatan iman adalah orang yang rida kepada Allah sebagai Tuhannya, rida kepada Islam sebagai agamanya, dan rida kepada Muhammad sebagai Rasul utusannya. Dalam hadis lain, Rasulullah bersabda, “Ada tiga operkara yang menyebabkan seorang dapat merasakan lezatnya iman, yaitu orang yang mencintai Allah dan Rasulnya lebih dari yang lain; orang yang mencintai hamba karena Allah dan orang yang takut kembali kepada kekufuran seperti ketakutannya untuk dimasukkan ke dalam api neraka.
Pada Ilmu Kalam ditemukan pembahasan iman dan definisinya, kekufuran dan manifestasinya, serta ditemukan pembahasan jalan atau metode praktis untuk merasakan keyakinan dan ketenraman, serta upaya untuk menyelamatkan diri dari kemunafikan. Semua itu tidak cukup hanya diketahui batasan-batasannya oleh seseorang. Hal ini karena ada seseorang yang sudah mengetahui batasan-batasan kemunafikan. Tetapi tetap saja melaksanakannya. Allah berfirman.
Artinya:
Orang-orang Arab Badui itu berkata: "Kami telah beriman." Katakanlah: "Kamu belum beriman, tapi katakanlah 'kami telah tunduk', karena iman itu belum masuk ke dalam hatimu; dan jika kamu taat kepada Allah dan Rasul-Nya, Dia tidak akan mengurangi sedikitpun pahala amalanmu; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang
Orang-orang Arab Badui itu berkata: "Kami telah beriman." Katakanlah: "Kamu belum beriman, tapi katakanlah 'kami telah tunduk', karena iman itu belum masuk ke dalam hatimu; dan jika kamu taat kepada Allah dan Rasul-Nya, Dia tidak akan mengurangi sedikitpun pahala amalanmu; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang
Ath-Thabarani, dalam Kitab Al-Kabir, meriwayatkan hadis sahih dari Ibnu Umar r.a. Ia berkata:
“Pada suatu kesempatan saya bersam Nabi, Tak lama kemudian beliau didatangi Hurmalah bin Zaid. Ia duduk di hadapan Nagi seraya berkata, Wahai Rasulullah, iman itu di sini (sambil mengisyaratkan pada lisannya) dan kemunafikan itu di sini (seraya menunjuk dadanya)). Kami tidak pernah mengingat Allah, kecuali sedikit. Rasulullah mendiamkannya, maka Hurmalah mengulangi ucapannya tadi, lalu Rasulullah SAW, memegang Hurmalah seraya berdo’a; Ya Allah jadikanlah untuknya lisan yang jujur dan hati yang bersyukur, kemudian jadikan dia mencintai orang yang cinta kepadaku, dan jadikanlah baik semua urusannya. Kemudian Hurmalah berkata, Wahai Rasulullah aku mempunyai banyak teman yang unafik. Dan aku adalah pemimpin mereka, tidakkah aku akan menjawab, “Siapa yang datang kepada kami, kami akan mengampuninya sebagaimana kami mengampunimu, dan siapa yang berketetapan hati untuk melaksanakan agamanya maka Allah lebih utama baginya, janganlah menembus tirai (hati) seseorang.
Dalam kaitannya dengan ilmu kalam, ilmu tasawuf berfungsi sebagai pemberi wawasan spiritual dalam pemahaman kalam. Penghayatan yang mendalam melalui hati (dzauq dan wijdan) terhadap ilmu tauhid atau ilmu kalam menjadikan ilmu tasawuf lebih terhayati atau teraplikasikan dalam perilaku. Dengan demikian, ilmu tasawuf merupakan penyempurnaan ilmu tauhid jika dilihat dari sudut pandang bahwa ilmu tasawuf merupakan sisi terapan rohaniyah dari ilmu tauhid.
Ilmu kalam pun berfungsi sebagai pengendali ilmu tasawuf. Oleh karena itu, jika timbul suatu aliran yang bertentangan dengan akidah, atau lahir suatu kepercayaan baru yang bertentangan dengan Al-Qur’an dan As-Sunah, hal itu merupakan penyimpangan atau penyelewengan. Jika bertentangan atau tidak pernah diriwayatkan dalam Al-Qur’an dan Al-Sunnah, atau belum pernah diriwayatkan oleh ulama-ulama salaf, maka hal itu harus ditolak.
Selain itu, ilmu tasawuf mempunyai fungsi sebagai pemberi kesadaan rohaniyah dalam perdebatan kalam,. Sebagaimana disebutkan bahwa ilmu kalam dalam dunia Islam cenderung menjadi sebuah ilmu yang mengandung muatan rasional dan muatan naqliyah. Jika tidak diimbangi oleh kesadaran rohaniay,. Ilmu kalam dapat bergerak ke arah yang lebih liberal dan bebas. Disinilah ilmu tasawuf berfungsi memberi muatan rohaniah sehingga ilmu kalam tidak dikesani sebagai dialektika keislaman belaka, yang kering dari kesadaran penghayatan atau sentuhan secara qalbiyah (hati).
Bagaimanapun amalan-amalan tasawuf mempunyai pengaruh yang besar dalam ketauhidan. Jika rasa sabar tidak ada, misalnya, muncullah kekufuran. Jika rasa syukur sedikit, lahirlah suatu bentuk kegelapan sebagai reaksi.
Begitu juga ilmu tauhid dapat memberi kontribusi kepada tasawuf. Sebagai contoh, jika cahaya tauhid telah lenyap, akan timbullah penyakit –penyakit qalbu, seperti ujub, congkak, riya’, dengki, hasud, dan sombong. Andaikata manusia sadar bahwa Allah-lah yang memberi, niscaya rasa hasud dan dengki akan sirna. Kalau saja dia tahu kedudukan penghambaan diri, niscaya tidak memiliki rasa sombong dan membanggakan diri. Kalau saja manusia sadar bahwa dia betul = betul hamba Allah, niscaya tidak akan ada perebutan kekuasaan. Kalau saja manusia sadar bahwa Allah-lah pencipta segala sesuatu, niscaya tidak akan ada sifat ujub dan riya’. Dari sinilah dapat dilihat bahwa ilmu tauhid merupakan jenjang pertama dalam pendakian menuju Allah (pendakian para kaum sufi).
Untuk melihat lebih lanjut hubungan antara ilmu tasawuf dan ilmu tauhid, alangkah baiknya bila kita memperhatikan paparan Al-Ghazali. Dalam bukunya yang berjudu Asma – Al-Husna, Al-Ghazali menjelaskan dengan baik mengenai persoalan tauhid kepada Allah, terutama berkenaan dengan baik mengenai persoalan tauhid kepada Allah, terutama dengan nama-nama Allah yang merupakan materi pokok ilmu tauhid.. nama Tuhan Ar-Rahman dan Al-Rahim, pada aplikasi rohaniahya merupakan sifat yang harusd iteladani. Jika sifat Ar-Rahman ddiaplikasikan, seseorang akan memandang orang yang durhaka dengan kelembutan bukan kekerasan; melihat orang dengan mata rahim, bukan dengan mata yang menghina, bahkan ia mencurahkan ke-rahim-annya kepada orang yang durhaka agar orang tersebut dapat diselamatkan,. Jika melihat orang lain menderita atau sakit, orang yang rahim akan segera menolongnya. Nama lain Allah yang patut diteladani adalah Al-Dudus (Mahasuci). Seorang hamba akan suci kalau berhasil membebaskan pengetahuan dan kehendaknya dari khayalan dan segala persepsi yang dimiliki binatang.
Dengan ilmu tasawuf, semua persoalan yang berada dalam kajian ilmu tauhid terasa lebih bermakna, tidak kaku, tetapi akan dinamis dan aplikatif.
C. Keterkaitan Ilmu Tasawuf dengan Filsafat
Ilmu tasawuf berkembang didunia Islam tidak dapat dinafikan dari sumbangan pemikiran kefilsafatan. Ini dapat dilihat, misalnya, dalam kajian-kajian tasawuf yang berbicara tentang jiwa. Secara jujur harus diakui bahwa terminologi jiwa dan roh itu sendiri sesungguhnya terminologi yang banyak dikaji dalam pemikiran-pemikiran filsafat. Sederetan intelektual muslim ternama juga banyak mengkaji tentang jiwa dan roh.
Kajian-kajian mereka tentang jiwa dalam pendekatan kefilsafatan ternyata telah banyak memberikan sumbangan yang sangat berharga bagi kesempurnaan kajian tasawuf dalam dunia Islam. Pemahaman tentang jiwa dan roh itu sendiri menjadi hal yang esensial dalam tasawuf. Kajian –kajian kefilsafatan tentang jiwa dan roh kemudian banyak dikembangkan dalam tasawuf. Namun, perlu juga dicatat bahwa istilah yang lebih banyak dikembangkan dalam tasawuf adalah istilah qalb (hati). Istilah qalb ini memang lebih spesifik dikembangkan dalam tasawuf. Namun, tidak berarti bahwa istilah qalb tidak berpengaruh dengan roh dan jiwa.
Menurut sebagian ahli tasawuf, an-nafs (jiwa) adalah roh setelah bersatu dengan jasad. Pernyatuan roh dan jasad melahirkan pengaruh yang ditimbulkan oleh jasad terhadap roh. Pengaruh-pengaruh ini akhirnya memunculkan kebutuhan-kebutuhan jasad yang dibangun roh. Jika jasad kerja pengekangan nafsu, sedangkan kalbu (qalb,hati) tetap sehat, tuntutan-tuntutan jiwa terus berkembang sedangkan jasad menjadi binasa karena melayani jiwa.
referensi
Jamil,2004. Cakrawala tasawuf sejarah, pemikiran dan kontekstualitas. Cipayung ciputat : Gaung Pustaka Press.
www. Manipintar.co cc/2009/03/hubungan tasawuf-ilmu kalam. html