About

budaya

Pages

Senin, 15 Agustus 2011

PSIKOLOGI SOSIAL DAN KEBUDAYAAN

A. Pendahuluan
 
Pada awal perkembangannya, ilmu psikologi tidak menaruh perhatian terhadap budaya. Baru sesudah tahun 50-an budaya memperoleh perhatian. Namun baru pada tahun 70-an ke atas budaya benar-benar memperoleh perhatian. Pada saat ini diyakini bahwa budaya memainkan peranan penting dalam aspek psikologis manusia. Oleh karena itu pengembangan ilmu psikologi yang mengabaikan faktor budaya dipertanyakan kebermaknaannya. Misalnya, menegaskan bahwa psikologi sosial hanya dapat bermakna apabila dilakukan lintas budaya. Hal tersebut juga berlaku bagi cabang-cabang ilmu psikologi lainnya.
Berbicara mengenai kebudayaan tak lepas dari peranan teori identitas sosial, dimana manusia adalah mahkluk yang bertanya akan dirinya. Makhluk yang harus mencari identitas dirinya, makhluk dengan kesadaran dimanakah seharusnya dia berada, keadaan tersebut tidak terjadi pada makhluk lainnya hewan, tumbuhan, dan lingkungan sekitarnya.
Identitas sosial yang dimaksud adalah bagaimana suatu kelompok atau daerah tertentu mempertahankan kebudayaan mereka dan membentuk konsep diri yang positif. Identitas sosial juga menghasilkan representasi sosial yang keluar dari individu-individu yang berkumpul serta memiliki pandangan dan emosi yang sama. Teori identitas sosial melihat bahwa suatu identitas sosial selalu mengklarifikasikan dirinya melalui perbandingan, tapi secara umumnya, perbandigannya adalah antara in-groups dan out-groups. In-groups biasanya secara stereotype positif sifatnya, selalu lebih baik dibandingkan out-groups.
B.    Psikologi Sosial
  Psikologi sosial adalah suatu studi tentang hubungan antara manusia dan kelompok. Psikologi sosial merupakan cabang ilmu dari psikologi yang baru muncul dan intensif dipelajari pada tahun 1930. Secara sederhana objek material dari psikologi sosial adalah fakta -fakta, gejala-gejala serta kejadian-kejadian dalam kehidupan sosial manusia. Sekilas ternyata objek psikologi sosial mirip dengan ilmu sosiolgi dan bila digambarkan sebenarnya psikologi sosial adalah merupakan pertemuan irisan antara ilmu psikologi dan ilmu sosiologi.

C.     Kebudayaan
              Budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh sebuah kelompok orang dan diwariskan dari generasi ke generasi. Budaya terbentuk dari banyak unsur yang rumit, termasuk sistem agama dan politik, adat istiadat, bahasa, perkakas, pakaian, bangunan, dan karya seni. Bahasa, sebagaimana juga budaya, merupakan bagian tak terpisahkan dari diri manusia sehingga banyak orang cenderung menganggapnya diwariskan secara genetis. Ketika seseorang berusaha berkomunikasi dengan orang-orang yang berbada budaya dan menyesuaikan perbedaan-perbedaannya, membuktikan bahwa budaya itu dipelajari.
              Kebudayaan sangat erat hubungannya dengan masyarakat. Melville J. Herskovits dan Bronislaw Malinowski mengemukakan bahwa segala sesuatu yang terdapat dalam masyarakat ditentukan oleh kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat itu sendiri. Istilah untuk pendapat itu adalah Cultural-Determinism.

D. Teori Identitas Sosial
  Dalam teori identitas sosial, seorang individu tidaklah dianggap sebagai individu secara mutlak satu dalam kehidupannya. Individu merupakan bagian dari kelompok tertentu baik disadari maupun tidak disadari. Konsep identitas sosial adalah bagaimana seseorang itu secara sosial dapat didefinisikan (Verkuyten, 2005).
  Dalam hal identitas, Identitas itu ada yang terberi, tetapi ada juga yang memang berasal dari proses pencarian. Identitas yang terberi cantohnya saja dalam hal identitas laki-laki dan perempuan. Identitas andi sebagai laki-laki adalah identitas yang sudah terberi sejak lahir, mau tidak mau dia harus menerima itu. Namun demikian, dengan kemajuan teknologi yang ada, identitas yang terberipun bisa diganti dengan identitas yang kita inginkan, misalnya saja yang tadinya andi memiliki identitas laki-laki, namun dia memutuskan untuk merubah alat kelaminnya menjadi perempuan, sehingga identitas andi sekarang adalah perempuan. Penjelasan tersebut sekedar memberikan contoh saja kalau terkadang kitapun tak berhak memilih identitas kita sendiri. Karena manusia sebagai individu tidak bisa melepas keberadaannya dalam masyarakat maka status identitas kita pun bisa saja datang dari orang lain. Ini bisa timbul karena ketika identitas terlahir, lahir pulalah perbedaan yang juga berupaya memberi identitas kepada orang di luar dirinya.
Selain beruasaha untuk mengenal identitas sendiri, manusia pun berusaha untuk memberikan identitas pada orang lain. Sebuah identitas hadir karena manusia butuh untuk mengkategorisasikan sesuatu. Dengan begitu, identitas sosial juga melibatkan pula ketegori dan menetapkan seseorang ke dalam struktur sosial atau wilayah sosial tertentu yang besar dan lebih lama ketimbang situasi partikular lainnya.
Jelas saja kategorisasi dan penetapan terhadap posisi seseorang sangatlah dibutuhkan, kalau tidak, bagaimana dia bisa membedakan yang satu dengan yang lainnya. Ketika kategorisasi terbentuk, perbedaan tentunya tidak dapat dihindari (Tajfel, 1972). Identitas sosial menjadi relevan ketika satu dari kategori melibatkan juga satu diri yang ikut berpartisipasi terhadap dorongan pada diri lain yang berasal dari kelompok yang sama (Abrams & Hoggs, 1990). Misalnya saja dorongan semangat untuk atlit olahraga yang berasal dari daerah yang sama. Dorongan pemberian semangat tersebut terjadi karena sang atlit membela kelompok yang mereka miliki bersama.
Normalnya, suatu identitas sosial biasanya lebih menghasilkan perasaan yang positif. Hal tersebut terjadi karena kita menggambarkan kelompok sendiri di identifikasikan memiliki norma yang baik. Identitas sosial yang melekat pada seseorang merupakan identitas posistif yang ingin dipertahankan olehnya. Oleh karena itu, individu yang memiliki identitas sosial positif, maka baik wacana maupun tindakannya akan sejalan dengan norma kelompoknya. Dan, jika memang individu tersebut diidentifikasikan dalam suatu kelompok, maka wacana dan tindakannya harus sesuai dengan wacana dan tindakan kelompoknya.
Konsep identitas sosial sebenarnya berangkat dari asumsi umum:
1.      Setiap individu selalu berusaha untuk merawat atau meninggikan self-esteemnya: mereka berusaha untuk membentuk konsep diri yang positif.
2.      Kelompok atau kategori sosial dan anggota dari mereka berasosiasi terhadap konotasi nilai positif atau negatif. Karenanya, identitas sosial mungkin positif atau negatif tergantung evaluasi (yang mengacu pada konsensus sosial, bahkan pada lintas kelompok) kelompok tersebut yang memberikan kontribusi pada identitas sosial individu.
3.       Evaluasi dari salah satu kelompok adalah berusaha mengdeterminasikan dan juga sebagai bahan acuan pada kelompok lain secara spesifik melalui perbandingan sosial dalam bentuk nilai atribut atau karakteristik (Tajfel, 1974, dalam Hogg & Abrams, 2000)
Dari asumsi di atas tersebut, beberapa relasi prinsip teori dapat menghasilkan:
1.      Individu berusaha untuk mencapai atau merawat identitas sosial yang positif
2.      Identitas sosial yang positif ada berdasarkan pada besarnya tingkat perbandingan favorit in-group-out-group; in-group pasti mempersepsikan dirinya secara positif berbeda dari out-group
3.      ketika identitas sosial tidak memuaskan, individu akan berusaha keluar dari kelompok, lalu bergabung pada kelompok yang lebih posisitif atau membuat kelompok mereka lebih bersifat positif.
Identitas sosial sebagai teori tidak bisa lepas dari keinginan individu untuk memperbandingkan dirinya serta kelompoknya dengan yang lain. Perbandingan sosial digambarkan oleh Festinger (1954) sebagai teori di mana bisa membimbing kita untuk membandingkan diri kita dengan yang lain, siapa yang serupa dengan kita dan siapa yang berbeda, siapa yang berada di atas dan siapa yang berada di bawah. Setidaknya ada tiga variabel yang mempengaruhi hubungan pembedaan antar kelompok dalam situasi sosial yang nyata (Tajfel, 1974; Turner, 1975; dalam Hogg & Abrams, 2000). Pertama, individu pasti memiliki internalisasi kelompok mereka sebagai konsep diri mereka: secara subjektif mereka pasti menidentifikasikan kelompok yang relevan. Hal ini tidak cukup dari orang lain saja yang mengidentifikasikan seseorang kalau dari kelompok mana dia berasal. Kedua, situasi sosial akan menciptakan perbandingan sosial yang memungkinkan terjadinya seleksi dan evaluasi atribut relasi yang relevan. Perbedaan kelompok pada tiap-tiap daerah tidak sama secara sikinifikan. Misalnya saja, di Amerika perbedaan kelompok lebih cenderung menonjol pada perbedaan warna kulit, tapi perbedaan warna kulit bukan sesuatu yang menonjol di Hongkong. Ketiga, in-group tidak membandingkan dirinya pada tiap proses kognitif yang ada pada out-group: out-group pastinya dipersepsikan sebagai kelompok perbandingan yang relevan baik dalam kesamaan, kedekatan, dan secara situasional menonjol. Kemudian, Determinasi out-group dihasilkan sebagai perbandingan terhadap determinasi in-group.
Menurut Sarben & Allen (1968), identitas sosial juga berfungsi sebagai pengacu keberadaan posisi seseorang berada di mana dia. Berada di tingkatan mana kita berada, posisi seperti apa saja yang keberadaannya sama dengan kita dan mana juga yang berbeda. Teori identitas sosial melihat bahwa suatu identitas sosial selalu mengklarifikasikan dirinya melalui perbandingan, tapi secara umumnya, perbandigannya adalah antara in-groups dan out-groups. In-groups biasanya secara stereotype positif sifatnya, selalu lebih baik dibandingkan out-groups.

D.    Hubungan Psikologi dan Budaya
Pada awal perkembangannya, ilmu psikologi tidak menaruh perhatian terhadap budaya. Baru sesudah tahun 50-an budaya memperoleh perhatian. Namun baru pada tahun 70-an ke atas budaya benar-benar memperoleh perhatian. Pada saat ini diyakini bahwa budaya memainkan peranan penting dalam aspek psikologis manusia. Oleh karena itu pengembangan ilmu psikologi yang mengabaikan faktor budaya dipertanyakan kebermaknaannya. Triandis (2002) misalnya, menegaskan bahwa psikologi sosial hanya dapat bermakna apabila dilakukan lintas budaya. Hal tersebut juga berlaku bagi cabang-cabang ilmu psikologi lainnya.
Sebenarnya bagaimanakah hubungan antara psikologi dan budaya? Secara sederhana Triandis (1994) membuat kerangka sederhana bagaimana hubungan antara budaya dan perilaku:
Ekologi – budaya – sosialisasi – kepribadian – perilaku
Sementara itu Berry, Segall, Dasen, & Poortinga (1999) mengembangkan sebuah kerangka untuk memahami bagaimana sebuah perilaku dan keadaan psikologis terbentuk dalam keadaan yang berbeda-beda antar budaya. Kondisi ekologi yang terdiri dari lingkungan fisik, kondisi geografis, iklim, serta flora dan fauna, bersama-sama dengan kondisi lingkungan iasr-politi,  adaptasi biologis dan adaptasi iasral merupakan dasar bagi terbentuknya perilaku dan karakter psikologis. Ketiga hal tersebut kemudian akan melahirkan pengaruh ekologi, genetika, transmisi budaya dan pembelajaran budaya, yang bersama-sama akan melahirkan suatu perilaku dan karakter psikologis tertentu.
Ratusan definisi budaya yang ada tidak biasa dianggap yang satu lebih benar daripada yang lainnya. Masing-masing definisi memiliki kekuatannya masing-masing. Oleh karena itu penggunaan definisi budaya semestinya dilihat dari tingkat kegunaannya bagi tujuan yang dikehendaki. Triandis (1994) mencontohkan dengan definisi budaya yang digunakan B.F. Skinner, seorang behavioris, yakni ‘budaya adalah seperangkat aturan penguatan (a set of schedules of reinforcement)’. Definisi tersebut bernilai optimal bagi pendekatan yang dilakukan Skinner.

Studi kasus tentang kebudayaan jawa.
            Dengan konsep identitas sosial diatas maka dapat diambil contoh atau studi kasus tentang pakaian tradisional dari jawa, komonitas masyarakat jawa berusaha merawat identitas sosialnya baik disadari maupun tidak disadari seperti ciri-ciri pakaian tradisional jawa untuk wanita antara lain (1) potongan dibuat sedikit ketat sehingga bentuk tubuh aslinya nampak jelas. (2) mengunakan kain batik yang pemakainnya juga ketat yang mengakibatkan gerak wanitanya terbatas sehingga jalan wanita tersebut sangat pelan. (3) warna yang dipilih untuk bajutidak mencolok, umumnya lebih disukai warna yang remang atau lembut. Hal-hal demikian jauh berbeda dengan pakaian tradisional diluar jawa yang memiliki ciri-ciri antara lain : (1) potongan bajunya dibuat longar sehingga potongan tubuh aslinya kurang tampak jelas, (2) mereka mengenakan kain sarung yang merupakan hasil tenunan sehingga gerak pemakaian lebih gesit, (3) warna kain yang dipilih pada umumnya mencolok, seperti warna kuning, merah, biru dan hijau. Contah baju luar jawa adalah baju kurung, baju lengan panjang, baju bodo dan sarung tenun dari silungkang, palembang, bugis.
            Sedangkan pakaian tradisional pria dari jawa memiliki ciri-ciri seperti mempergunakan blankon sebagai penutup kepala terbuat dari kain batik dan pemakaiannya ketat melekat di kepala, baju dibuat dari kain tebal dan ketat menutup leher, kainnya berupa kain batik (dari jenis kainnya, seseorang dapat dilihat setatus sosialnya) dan keris merupakan bagian dari pakaian yang diselipkan di belakang badan sedangkan pakaian tradisional pria dari luar jawa memiliki ciri-ciri,seperti mempergunakan tutup kepala berupa peci, baju dan celana dari kain yang tipis dan potongannya longgar, senjata merupakan sebagai pelengkap pakaian yang diselipkan didepan (perut).
Dari studi kasus diatas dapat dilihat bahwa setiap daerah memiliki kebudayaan yang merupakan ciri khas daerah tersebut yang harus mereka pertahankan, meskipun ada beberapa budaya mereka misalnya jawa (pakaian wanita yang sengaja dibuat ketat ) yang kurang sesuai dengan norma agama namun mereka (masyarakat jawa) tetap mempertahankan dan berusaha membentuk konsep diri yang positif. 

DAFTAR PUSTAKA
Sedyawati Edi. 2006. Budaya indonesia. Jakarta: PT Raja Grafindo persada
Sarlito, sarwono.2008.Teori-teori psikologi sosial :Rajawali pers

Widyosiswiyio, supartono.2004. ilmu budaya dasar: bogor ghalia indonesia

1 komentar:

Wan Fahrul Rozikin