About

budaya

Pages

Jumat, 03 Mei 2013

Sejarah Metode Tafsir : Studi kritis tafsir tekstual dan kontekstual


A.    Mengkritisi klasifikasi metode tafsir
Sebuah ilmu, menurut Bahm, disebut dengan ilmu pengetahuan apabila memenuhi enam komponen yang saling terkait satu sama lain, yaitu: masalah, sikap, metode, aktivitas, kesimpulan, dan efek.
Pandangan Bahm ini sejalan dengan pendapat yang menyatakan bahwa suatu studi bisa disebut sebagai ilmu pengetahuan apabila:
a.       Mempunyai objek kajian yang empiris atau memiliki evidensi empiris yang membedakannya dari ilmu pengetahuan lain, baik objek formal maupun objek materialnya.
b.      Memiliki sistematisasi / struktur keilmuan yang berbeda dari disiplin lainnya.
c.       Memiliki etode pengembangan yang dengannya ilmu pengetahuan dapat diteliti dan di kembangkan secara terus menerus.
Metode (method) yang di sebutkan terakhir ini merupakan cara yang teratur dan terpikir baik-baik untuk mencapai maksud, atau cara kerja sistematik untuk memudahkan pelaksanaan suatu kegiatan guna mencapai tujuan yang sudah di tentukan. Menurut Bahm, metode sebagai komponen ketiga dari ilmu pengetahuan, merupakan esensi pengetahuan dan sebab pengetahuan sebagai teori akan selalu berubah, Sedangkan metode merupakan pengetahuan yang tidak pernah dan tidak akan berubah. Meski demikian, di antara para ilmuan tidak ada kebulatan pandangan mengenai bagaimana sifat metode tersebut. Dalam perdebatan yang panjang, ada dua pandangan controversial tentang metode, yaitu:
a.       Apakah metode hanya satu atau banyak
b.      Langkah metode ilmiah
Respon saya kata Bahm, terhadap kontroversi ini, apakah metode ilmiah itu satu atau banyak mempunyai kebenaran pada masig-masing pandangan. Metode ilmiah bisa satu, bisa banyak. Pandangan bahwa “metode ilmiah itu satu” dapat di benarkan karena tidak ada sebuah subjek yang tidak bisa di pecahkan dengan sebuah metode ilmiah.
Sementara itu, kebenaran pernyataan bahwa “metode ilmiah itu banyak” disebabkan pada kenyataannya, ada beberapa metode yang sesuai dengan masalah dan caranya. Misalnya, seorang ahli biologi mengunakan mikroskop Sedangkan seorang astronom harus mengunakan teleskop. Oleh sebab, itu masing-masing cabang ilmu menggunakan metodenya sendiri yang beragam dan berbeda.
Disamping itu, menurut Bahm selanjutnya, secara historis para ilmuan dalam satu bidang yang sama dengan wilayah yang berbeda akan menggunakan metode yang berbeda pula, karena perbedaan dalam perkembangan teori dan perkembangan dan temuan teknologi.
Ketika terjadi revolusi ilmiah yang sangat penting, berbagai metode mendapat penekanan yang berbeda diikuti dengan proses sistematis yang baru. Pada tahap-tahap terdahulu, hal ini cendrung lebih induktif, yaitu lebih banyak bekerja dengan metode tertentu dalam ilmu pengetahuan yang tertentu pula. Pada tahap berikutnya, metode-metode tersebut tidak lagi campur aduk tetapi lebih menekankan kepada masalah sintetik, sehingga melahirkan metode sintetik.
Islam juga memandang bahwa metode sangat penting dalam perkembangan ilmu pengetahuan. Namun, seperti natur keilmuan islam yang paling utama adalah menitik beratkan pada moral dan mamfaat pada manusia. Maka, islam tidak hanya berhenti pada tahapan metodologis tersebut, melainkan dilanjutkan dengan pembahasan dampak ilmu pengetahuan pada kehidupan manusia.
Capra dalam hal ini mengatakan bahwa pada awal dua dasawarsa terakhir abad ke-20 manusia berada dalam sebuah krisis global yang serius, yaitu krisis kompleks dan multidimensional yang sendi-sendinya menyentuh setiap aspek kehidupan, kesehatan, mata pencarian, kualitas lingkungan dan hubungan sosial, eknomomi, teknologi dan politik. Krisis ini masih menurut capra, menyangkut dimensi-dimensi  intelktual, moral, dan spiritual; sebuah krisis yang belum pernah terjadi sebelumnya dalam catatan sejarah umat manusia.
Agar manusia terhindar dari itu, epistimologi islam sejak awal kelahirannya telah memperlakukan metode penelitian pada dasarnya adalah satu (unity) berangkat dari pencipta yang satu (the unity of the creator), kesatuan ilmu pengetahuan (the unity of knowledge), kesatuan kreasi (the unity of creation), kesatuan manusia (the unity of mankind), dan manusia harus secara sadar hidup dalam mainstream kesatuan komik (the unity of the cosmic) agar tidak merusak ritme sosio-ekologi.
Adapun berbagai cara atau metode yang digunakan para ilmuan yang berbeda-beda bukan menunjukan pada banyaknya metode penelitian selama ia tetap bersandar pada pandangan dunia islam yang tentang realitas yang disebutkan terakhir. Pandangan seperti ini tetap sejalan dengan pemikiran epistimologi muslim, seperti ibn Hazm, yang membedakan antara knowledge dan science.
Metode tafsir adalah cara bagaimana pelaksanaan interpretasi (tafsir) al-Qur’an dapat dengan mudah dilaksanakan. Namun, karena metode tafsir sebagai sebuah kajian keilmuan lebih belakang lahirnya dibandingkan dengan tafsirnya, maka tidak sedikit orang yang menggunakan metode tafsir sebagai piranti analisis penafsiran al-Qur’an, melainkan dimamfaatkan untuk memahami hasil penafsiran yang sudah dilakukan para ulama salaf.
Sebab ini pula, metode tafsir dirasakan lebih tertinggal dari pada perkembangan tafsirnya karena tafsir lahir jauh sebelum metode tafsir dijadikan sebagai obyek kajian ilmiah, bahkan tafsir al-Qur’an sudah ada sejak masa awal turunya al-Qur’an. Sekalipun pada masa awal perkembangnya, penafsir al-Qur’an lebih merupakan hak prerogatif Nabi saw sebagai penerima dan yang paling mengerti maksud al-Qur’an, dalam perkembangannya penafsiran al-Qur’an dilakukan oleh beberapa sahabat tertentu yang disampaikan pada beberapa muridnya.

B.     Pandangan Alternatif Klasifikasi Metode Tafsir
Penafsiran terhadap al-Qur’an pada dasarnya merupakan otoritas Nabi saw karena hanya Nabi-lah yang memahami apa yang dimaksudkan seluruh ayat yang ada dalam al-Qur’an, maka setelah Nabi saw meninggal, para sahabat memahami al-Qur’an dengan cara bertanya pada para sahabat yang terkenal sebagai ahli tafsir. Artinya, pada masa sahabat ini sudah ada penafsiran al-Qur’an sekalipun masih bersifat riwayat, yakni belum dikodifikasi ke riwayat berikutnya. Cara penafsiran seperti ini berjalan hingga paruh kedua abad ke 2 Hijryah.
Setelah paruh kedua abad ke 2 Hijriah, ulama membukukan tafsir al-Qur’an sebagai bagian dari atau menjadi bab dalam kitab-kitab Hadits. Cara pembukuan seperti ini berjalan sekitar satu abad lamanya hingga pada sekitar dasawarsa terakhir abad ke-3 Hijriah atau dasawarsa pertama abad ke-4 Hijryah, kitab tafsir dikodifikasi tersendiri. Pada masa ini, bab tafsir dalam beberapa kitab hadits yang berkembang pada abad ke 3 Hijryah masih tetap ada. Diantara tokoh yang terkenal pada masa abad ini, bahkan hingga sekarang ialah Abu j’far Muhammad bin Jarir al-Thabariy (224-310), dengan kitabnya jami’ al-Bayan ‘an Ta’wil Ayi al-Qur’an. Sekalipun kitab ini merupakan kitab tafsir yang paling terkenal dan di tulis oleh seorang tokoh yang terpopuler keintelktualnya, corak penafsirannya masih tampak berpegang teguh pada cara penafsiran al-Qur’an dengan menggunakan analisis kebahasaan yang bersifat leksiografis, yakni pembahasan berdasarkan analisis tata bahasa Arab (i’rab) atau belakangan sering di sebut dengan pendekatan atau metode analisis struktural.
Saat ini, dimana metodologi penelitian sudah menemukan karakteristiknya, sistem pembagian terhadap tafsir pun perlu dikaji berdasarkan atas keilmuan metodologis, sehingga dapat memperkokoh karakter tafsir masing-masing. Namun demikian, sebagai uama tafsir belum menjadikan metodologi sebagai salah satu alternative didalam membuat klasifikasi metode tafsir, sehingga tidak mudah dipahami. Abdul Hayy al-Farmawi, misalnya, membagi metode tafsir pada empat macam metode penafsiran al-Qur’an, yaitu metode tahlili, ijmali, muqarin, dan maudlu’i. cara pembagian metode seperti ini kurang tepat jika di tinjau dari ilmu metode (metodologi) dalam penelitian ilmu pengetahuan. Sistem pembagian juga telah mengakibatkan kebingungan dalam menentukan kategorisasi tafsir dikalangan mahasiswa atau dosen ahli metodologi penelitian.

C.     Mengkritisi pendekatan tafsir: tekstual dan kontekstual
Pendekatan yakni manhaj al-fikr (pola pikir) yang digunakan untuk menatap obyek studi. Dalam hal ini, landasan pendekatan studi al-Qur’an, seperti disebutkan pada bab sebelumnya adalah pendekatan teologis yang dengannya dibentuk suatu paradigma keilmuan yang diilhami al-Qur’an.
Pendekatan tekstual adalah sebuah pendekatan studi al-Qur’an yang menjadikan lafal-lafal al-Qur’an sebagai obyek. Pendekatan ini menekankan analisisnya pada sisi kebahasaan dalam memahami al-Qur’an. Secara praktis, pendekatan ini dilakukan dengan memberikan perhatian pada ketelitian redaksi dan bingkai teks ayat-ayat al-Qur’an.
Pendekatan tekstual dalam studi al-Qur’an tidak hanya terbatas pada hal-hal tersebut, lebih dari itu pendekatan tekstual juga mengunakan konsep kajian struktur bahasa (pendekatan nahwiyah/ struktur bahasa Arab) dan sastra (balaghah/ilmu sastra Arab). Belakangan pendekatan tekstual juga menggunakan pendekatan filologis dan semantik.
Kebanyakan tafsir yang mengunakan pendekatan tekstual setidaknya dapat di berikan cirri-ciri berikut :
1.      banyak melakukan pengkajian nahwiyah atau bacaan yang berbeda-beda (strukturalis).
2.      Melakukan pengkajian asal-usul bahasa dengan melansir syair-syair Arab (heruistik dan hermeneutic).
3.      Banyak mengandalkan cerita atau pendapat sahabat dalam menafsirkan makna lafal yang sedang dikaji (riwayat).
Keistimewaan dan kelemahan pendekatan ini menurut M. Quraish Shihab :
1.      Keistemawaannya antara lain :
a.       Menekankana pentingnya bahasa dalam memahami al-Qur’an
b.      Memaparkan ketelitian redaksi ayat ketika menyampaikan pesan-pesanya.
c.       Mengikat mufasir dalam bingkai teks ayat-ayat, sehingga membatasinya terjerumus dalam subjektivitas yang berlebihan
2.      Kelemahannya ialah :
a.       Terjerumusnya sang mufasir dalam uraian kebahasaan dan kesustraan yang bertele-tele, sehingga pesan pokok al-Qur’an menjadi kabur di celah uraian itu.
b.      Seringkali konteks turunya ayat (uraian asbab al-nuzul atau sisi kronologis turunya ayat-ayat hukum yang dipahami dari uraian nasikh-mansukh) hampir dapat dikatakan terabaikan sama sekali.
Pendekatan kontekstual dalam studi al-Qur’an ialah suatu pendekatan yang mencoba memahami makna dan kandungan ayat-ayat al-Qur’an dengan memahami konteks mengapa dan dalam kondisi apa ayat tersebut di turunkan, untuk kepentingan ini, ulama ulum al-Qur’an telah membuat kerangka historis ayat-ayat yang mempunyai sebab turunya dalam ‘ilm asbab al-nuzul, yakni ilmu yang mempelajari tentang berbagai kasus, kejadian, atau pertanyaan, yang menjadi sebab turunya al-Qur’an. Akan tetapi, sebab turun yang dimaksudkan disini tidak dipahami seperti hukum kausalitas karena apabila dipahami demikian, akan timbul kesalahpahaman bahwa seandainya tidak ada kejadian, maka tidak aka nada ayat diturunkan. Oleh karenanya, pengertian “sebab turun” dimaksudkan untuk melihat dalam kondisi apa dan bagaimana ayat itu diturunkan, dengan tersebut maka maksud ayat tersebut dapat di pahami.
Tidak semua ayat mempunyai kasus demikian, untuk melakukan pendekatan kontekstual diperlukan pemahaman terhadap semua kondisi bangsa Arab yang melingkupi turunnya al-Qur’an. Pemahaman terhadap kondisi obyektif seperti ini akan dapat membantu penafsir memahami maksud dan kandungan ayat yang sedang di teliti. Misalnya untuk memahami hukum riba yang terdapat dalam QS. Al-Bagarah 2 :278 dan Ali ‘Imran (3):130, maka penafsir harus memahami prilaku ekonomi bangsa Arab ketika itu. Sejarah budaya bangsa Arab dengan demikian akan sangat membantu penafsir memahami maksud ayat yang sedang di telitinya.

0 komentar:

Posting Komentar

Wan Fahrul Rozikin