A. Pengertian pengembangan kepribadian
islam
Pengunaan istilah “pengembangan” pada awalnya
dibedakan dengan istilah “penyembuhan” atau “terapi,” sebab istilah
pengembangan digunakan untuk individu yang sehat, sedangkan istilah penyembuhan
atau terapi digunakan untuk individu yang sakit. Namun, akhir akhir ini,
keduanya digunakan untuk arti yang sama, karena keduanya memiliki tujuan yang
sama, yaitu ingin memaksimalkan daya-daya insani agar mampu realisasi dan
aktualisasi diri yang baik. Menurut Carl Gustav Jung, psikoterapi telah
melampaui asal usul medisnya dan tidak lagi merupakan suatu metode perawatan
orang yang sakit.
Dengan latar belakang diatas, maka yang dimaksud
dengan pengembagan kepribadian islam disini adalah “usaha sadar yang dilakukan
oleh individu untuk memaksimalkan daya-daya insane, agar ia mampu realisasi dan
aktualisasi diri lebih baik, sehingga memperoleh kualitas hidup didunia maupun
diakhirat.” Ddefenisi tersebut mengandung arti bahwa dengan metode pengembangan
kepribadian islam ini diharapkan dapat menjadi terapi bagi mereka yang sakit
dan menjadi pendorong bagi mereka yang sehat.
Pengembangan kepribadian islam dapat ditempuh dengan
dua pendekatan. Pertama, pendekatan konten (materi) dan kedua pendekatan
rentang kehidupan, yaitu serangkaian prilaku yang dikaitkan dengan tugas-tugas
perkembangan menurut rentang usia. Asumsi pendekatan ini adalah bahwa dalam
setiap rentang kehidupan, individu memiliki tugas-tugas perkembangan yang harus
diperankan menurut rentang usia. Peran pada masa kanak-kanak tidak akan sama
dengan peran orang dewasa. Tanpa memerankan tugas-tugas perkembangan dengan
baik, maka perkembangan individu itu dinilai abnormal. Maksud tugas-tugas perkembangan pada pendekatan
kedua ini mengacu pada paradigma bagaimana seharusnya bukan apa adanya. Sebagai
sontoh, tugas-tugas perkembangan masa puber bukan “mencari hubungan baru dengan
teman sebaya, baik pria maupun wanita” sebagai mana yang diteorikan dalam
psikologi perkembangan barat, tetapi lebih mengarah pada tugas-tugas sebagai
seorang mukallaf (yang terkena beban agama), karena masa puber ini adalah masa
yang dikenai hukuman
B.
Pengembangan
kepribadian islam menurut pendekatan konten
Kiat-kiat pengembangan kepribadian islam menurut
pendekatan konten, dapat ditempuh melalui tiga tahap.
1. Tahapan
permulaan (al-bidayah)
Pada tahapan ini fitrah
manusia merasa rindu kepada khaliknya.
Ia sadar bahwa keinginan untuk berjumpa itu terdapat tabir (al-hijab)
yang menghalangi interaksi dan komunikasinya, sehingga ia berusaha
menghilangkan tabir tersebut. Karena itulah tahapan ini disebut juga tahapan
takhalli, yang bearti mengosongkan diri dari segala sifat-sifat yag kotor,
maksiat, dan tercela (madmuzmah)
2. Tahapan
kesunguhan Dalam menempuh kebaikan (al-mujahadah).
Pada tahap ini
kepribadian seseorang telah bersih dari sifat-sifat tercela dan maksiat, untuk
kemudian dia berusaha secara sunguh-sunguh dengan cara mengisi diri dengan
prilaku yang mulia, baik yang dimunculkan dari kepribadian mukmin, muslim
maupun muhsin. Tahap ini disebut juga tahapan tahalli, yaitu upaya mengisi dan
menghiasi dengan sifat-sifat yang terpuji (mahmudah).
Tahapan kedua ini harus
ditopang oleh tujuh pendidikan dan olah batin (riyadhat al-nafs), sebagai
berikut :
1. Musyarathah,
yaitu menetapkan syarat-syarat atau kontrak pada jiwa agar ia dapat melaksanakan tugas dengan baik dan menjauhi
larangan.
2. Muraqabah,
yaitu mawas diri dan penuh waspada dengan segenap kekuatan jiwa dan pikiran
dari prilaku maksiat, agar ia selalu dekat dengan Allah.
3. Muhasabah,
yaitu intropeksi, membuat perhitungan atau melihat kembali tingkah laku yang
diperbuat, apakah sesuai dengan apa yang diisyaratkan sebelumnya atau tidak.
4. Mu’aqabah,
yaitu menghukum diri karena dalam perniagaan rabbani selalu mengalami kerugian.
5. Mujahadah,
yaitu berusaha menjadi baik dengan sungguh-sungguh, sehingga tidak ada waktu,
tempat dan keadaan untuk main-main, apalagi melakukan prilaku yang buruk.
6. Mu’ataqbah,
yaitu menyesali dan mencela diri atas perbuatan dosanya dengan cara (1)
berjanji untuk tidak melakukan perbuatan itu lagi; dan (2) melakukan prilaku
positif untuk menutup prilaku negatif. Agar tidak zina maka ia harus nikah.
7. Mukasyafah,
yaitu membuka penghalang (hijab) atau tabir agar tersingkap ayat-ayat dan
rahasia rahasia Allah.
3. Tahapan
merasakan (al-mudziqat).
Pada
tahapan ini seorang hamba tidak sekadar menjalankan printah khaliknya dan
menjauhi larangannya, tetapi ia merasa kelezatan, kedekatan, kerinduan bahkan
bersamaan (ma’iyyah)dengan-nya. Tahapan ini disebut juga tajalli. Tajalli
adalah menampakannya sifat-sifat Allah Swt. Pada diri manusia setelah
sifat-sifat buruknya dan tabir yang menghalangi menjadi sirna. Tahapan ketiga
ini bagi pada sufi biasanya didahului oleh dua proses, yaitu /al-fana’ dan
al-baqa’.
Sosok yang memiliki
pengalaman puncak dalam kepribadian islam lebih dikenal dengan insan al-kamil
(manusia paripurna). Ia tidak bersatu dengan alam seperti ungkapan maslow,
tetapi bersatu dengan sifat-sifat atau asma’ Allah Swt. Sosok insan kamil
sesungguhnya adalahh para nabi dan rasul Allah. Diantara mereka yang paling
pilihan (musthafa) adalah nabi Muhammad Saw. Oleh karena predikat ini maka
Allah dalam Alqur’an memujinya sebagai sosok yang berkepribadian agung (QS
Al-Qalam:4), karena dalam dirinya tercermin nilai-nilai Alqur’an yang perlu
ditauladani (uswah hasanah) oleh pengikutnya.
C.
Pengembangan
kepribadian islam menurut rentang kehidupan
Untuk menjelaskan upaya-upaya pengembangan
kepribadian, hanya dipilih fase kehidupan dunia dari tiga fase besar yang ada.
Pemilihan itu karena hanya pada fase ini ikthtiyar dan usaha manusia dapat
dilakukan.
Pertama,
fase pra-konsepsi, yaitu fase perkembangan manusia sebelum masa pembuahan
seperma dan ovum. Asumsi adanya fase ini adalah (1) dalam Al-qur’an dan
al-sunnah, seseorang dianjurkan dan bahkan diwajibkan menikah untuk kelestarian
keturunan. Kelestarian keturunan ini menjadi bagian dari pertumbuhan dan
perkembangan manusia; (2) ruh manusia telah tercipta sebelum jasad tercipta.
Ruh yang suci menghendaki tempat yang suci pula. Dalam konteks ini kesucian
jasad dapat diperoleh melalui pernikahan.
Kedua,
fase pra-natal, yaitu fase perkembagan manusia yang dimulai dari pembuahan
sperma dan ovum sampai masa kelahiran. Secara fisik, fase ini dibagi empat,
yaitu : (1) fase nuthafah (zigot) yang dimulai sejak pembuahan sampai usia 40
hari dalam kandungan; (2) fase ‘alaqah (embrio) selama 40 hari; (3) fase
mudhaqah (janin) selama 40 hari; dan (4) fase peniupan ruh kedalam janin
setelah genap empat bulan, yang mana janin manusia telah terbentuk secara baik,
kemudian ditentukan hokum-hukum perkembangannya, seperti masalah-masalah yang
berkaitan dengan prilaku (seperti sifat, karakter, dan bakat), kekayaan batas
usia, dan bahagia-celakanya.
Ketiga,
fase neo-natus, dimulai kelahiran sampai kira-kira minggu keempat. Upaya-upaya
pengembangan kepribadian pada fase ini yang dilakukan oleh orang tua adalah:
1. Membacakan
azan ditelinga kanan dan membacakan iqamah ditelingga kiri anak yang baru
dilahirkan (HR. al-turmudzi).
2. Memotong
akikah, dua kambing untuk bayi laki-laki dan seekor kambing untuk bayi
perempuan.
3. Memberi
nama yang baik, yaitu nama yang secara psikologis mengingatkan atau berkolerasi
dengan prilaku yang baik.
4. Membiasakan
hidup bersih, suci, dan sehat.
5. Member
ASI sammpai usia dua tahun. ASI selain memiliki komposisi gizi yang sesuai
dengan kebutuhan bayi, juga menambah keakraban, kehangatan, dan kasih sayang
sang ibu dengan bayinya.
Keempat,
fase kanak-kanak (al-thifl), yaitu fase yang dimulai usia sebulan sampai usia
sekitar tujuh tahun. Dalam kamus lisan arab, kata thifl memiliki makna yang
sama dengan shabi, yaitu mulai masa neo-natus sampai pada masa pulusi mimpi
basah.
Kelima,
fase tamyiz, yaitu fase dimana anak mulai mampu membedakan yang baik dan yang
buruknya, yang benar dan yang salah. Fase ini dimulai usia sekitar tujuh tahun
sampai usia 12 atau13 tahu.
Keenam,
fase balligh, yaitu fase dimana usia anak telah sampai dewasa. Usia ini anak
telah memiliki kesadaran penuh akan dirinya, sehingga ia diberi beban tanggung
jawab (taklif), terutama tanggung jawab agama dan sosial. Menurut al-taftazani,
fase ini diangap dimana sebagai fase yang mana individu mampu bertindak
menjalankan hukum baik yang terikat dengan larangan maupun printah. Fase ini merupakan
fase yang terpenting dalam rentang kehidupan manusia, karena fase ini merupakan
awal aktualisasi diri dalam memenuhi perjanjian yang pernah diucapkan dialam
pra kehidupan dunia. Secara psikologis fase ini ditandai dengan kemampuan
seseorang dalam memahami suatu beban taklif, baik menyangkut dasar kewajiban,
jenis kewajiban , dan prosedur atau cara pelaksanaannya. Kemampuan ‘memahami’
menunjukkan adanya kematangan akal pikiran, yang mana hal itu menandakan
kesadaran seseorang dalam berprilaku, sehingga ia pantas diberi taklif.
Ketujuh,
fase azm al-‘umr atau syuyukh, yaitu fase kearifan dan kebijakan Dimana
seseorang telah memiliki tingkat kesadaran dan kecerdasan emosional, moral,
spiritual, dan agama secara mendalam. Al-Ghazali menyebut fase ini sebagai fase
awliya wa anbiya, yaitu fase dimana prilaku manusia dituntut seperti prilaku yang diperankan oleh kekasih
dan nabi Allah. Fase ini dimulai usia 40 sampai meninggal dunia.
Pada fasse ini, seseorang terkadang tidak mampu
mengaktualisasikan potensinya, bahkan kesadarannya menurun atau bahkan
menghilang. Kondisi ini disebabkan karena menuanya syaraf-syarah atau
organ-organ tubuh lainnya, sehingga menjadikan kepikunan. Karena demikian
kondisi kesadarannya sehingga ia terbebas dari segala tuntutan hukum agama,
seprti sholat, puasa, atau ibadah yang lainnya. Nabi Saw, mengajarkan agar
seseorang tidak hanya meminta umur yang panjang kepada Allah Swt, tetapi yang
terpinting adalah bagaimana mempergunakan umur itu yang diberikan oleh Allah
itu sebaik-baiknya.
Kedelapan,
fase menjelang kematian, yaitu fase dimana nyawa akan hilang dari jasad
manusia. Hilangnya nyawa menunjukkan pisahnya ruh dari jasad manusia yang
merupakan akhir dari kehidupan dunia. Kematian terjadi ada yang dikarenakan
batas kehidupan ajal telah tiba, sehingga tanpa sebab apapun jika ajal ini
telah tiba maka maka manusia mengalami kematian (QS Al-A’raf [7]:34, yuunus
[10]:49, Al-Nahl[16]:16.
Upaya-upaya perkembangan kepribadian pada fase ini
adalah (1) memberikan wasiat kepada keluarga jika terdapat masalah yang perlu
diselesaikan, seperti wasiat tentang pengembalian utang, mewakafkan sebagian
hartanya untuk keperluan agama, dan sebagainya. (2) tidak mengingatkan apa pun
kecuali berzikir kepada Allah Swt (3) mendengarkan secara seksama talqin yang
dibacakan oleh keluarganya kemudian menirukannya. (4) bagi orang yang hidup
maka diwajibkannya untuk memandikan, member kain kafan, menyalati, dan mengubur
jasad mayat
A.
Kesimpulan
Dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan
pengembangan kepribadian islam disini adalah dimana “usaha sadar yang dilakukan
oleh individu untuk memaksimalkan daya-daya insaninya, agar ia mampu realisasi
dan aktualisasi diri lebih baik, sehingga memperoleh kualitas hidup didunia
maupun diakhirat”. Dan dengan metode pengembangan kepribadian islam ini
diharapkan dapat menjadi terapi bagi mereka yang sakit dan menjadi daya
pendorong bagi mereka yang sehat. Bagi mereka yang memiliki tipologi
kepribadian amarah dapat beranjak menuju kekepribadian lawammah; dari
kepribadian lawwamah dapat menuju muthamainnah; dan dari kepribadian
muthamainanah taraf minimal dapat menuju pada taraf maksimal atau dari
pendekatan kuantitas menuju pada pendekatan kualitas.
B.
Kritik
dan Saran
Dalam makalah ini kami berharap semoga makalah yang
kami susun ini bermamfaat dan dapat digunakan. Sekiranya terdapat ada
kesalahan-kesalahan dalam penulisan makalah ini kami mohon maaf. Dan semoga
pembaca dapat member kritik dan saran supaya kedepannya akan dapat lebih baik
lagi.
Daftar
Pustaka
Mujib,
abdul. 2006. Kepribadian dalam psikologi
islam. Jakarta: PT RajaGrafindo persada.
http//delsajoesafira.blogspot.com/2010/05/kepribadian
menurut filsfaf islam.
www.kiflipaputungan.wordpress.com/2010
0 komentar:
Posting Komentar